TEMPO.CO, Bangkalan -Wakil Ketua Komisi VI DPR Farid Alfauzi mengatakan akan memasukkan kejahatan ekonomi, seperti kartel, sebagai tindak pidana dalam amandemen undang-undang persaingan yang tengah digodok DPR. "Di negara lain, kartel itu tindak pidana. Di undang-undang kita belum, makanya akan kami kaji," kata Farid saat berkunjung ke Kabupaten Bangkalan, Senin, 16 November 2015.
Farid menilai dampak kerugian negara dan masyarakat akibat kejahatan kartel lebih besar daripada tindak pidana korupsi. Dia mencontohkan, kartel biaya SMS yang melibatkan sejumlah perusahaan telekomunikasi merugikan negara hingga Rp 35 triliun.
Selain itu, dalam revisi undang-undang persaingan, ujar Farid, DPR akan menambah sejumlah kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, antara lain, posisi KPPU akan disetarakan kementerian sehingga pertanggungjawabannya langsung kepada presiden. "Kenapa langsung ke presiden karena kejahatan kartel selalu mengarah ke kementerian," ujar dia.
DPR, Farid bertutur, juga akan menaikkan besaran denda. Jika saat ini denda maksimal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Rp 25 miliar, akan ditambah menjadi maksimal 1 triliun. "Di Jepang, denda kejahatan ekonomi lebih besar capai Rp 2,5 triliun," kata dia.
Anggota KPPU, Sukarmi, berharap diberi kewenangan lain, yaitu kewenangan melakukan penyitaan, penggeledahan, dan penyadapan. Menurut dia, tanpa kewenangan tersebut, KPPU sulit menemukan bukti langsung untuk mengungkap kejahatan. "Undang-undang ini kan hak inisiatif DPR. Kami harap diakomodir," kata dia setelah sosialisasi peran KPPU di Bangkalan.
Selain itu, Sukarmi juga meminta DPR memperluas definisi pengusaha. Dalam undang-undang lama pengusaha, baik perorangan maupun badan usaha, yang bisa diselidiki KPPU hanya badan usaha yang berkedudukan di Indonesia. Padahal, kata dia, mulai tahun depan Indonesia akan menghadapi pasar bebas dan Masyarakat Ekonomi ASEAN. "Kami juga ingin pengusaha dan badan usaha luar negeri yang berbisnis di Indonesia bisa kami awasi," ucap dia.
MUSTHOFA BISRI