TEMPO.CO, Surabaya - Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti menegaskan bahwa tiga polisi di Lumajang, Jawa Timur, bisa dijerat dengan pasal pidana bila terlibat gratifikasi dalam kasus tambang pasir liar di Desa Selok Awar-awar, Pasirian. Kasus itu mencuat setelah terjadi penganiayaan yang dialami dua warga penentang tambang yang satu di antaranya, yakni Salim alias Kancil, tewas.
“Meskipun jumlahnya kecil, bisa disebut gratifikasi,” kata Badrodin ketika mengunjungi Markas Kepolisian Daerah Jawa Timur, Selasa, 10 November 2015.
Tiga polisi itu adalah mantan Kepala Polsek Pasirian, yang kini menjadi Kepala Sub-Bagian Pengendalian Operasi Polres Lumajang, Ajun Komisaris Sudarminto; Kepala Unit Reserse Kriminal Ipda Samsul Hadi; serta Babinkamtibmas Aipda Sigit Pramono. Ketiganya telah diputus bersalah menerima pungutan liar dari aktivitas tambang liar itu dalam sidang disiplin pada 19 Oktober 2015.
Dalam putusan tersebut, ketiga polisi dijatuhi hukuman, yaitu teguran tertulis, mutasi demosi (mutasi ke luar wilayah semula), dan penempatan kusus di sel tahanan selama 21 hari. Namun, Badrodin menjelaskan, putusan atas pelanggaran itu bukan berarti ketiganya melanggar pidana. "Kalau pelanggaran pidana, sudah pasti pelanggaran kode etik," katanya.
Secara terpisah, juru bicara Polda Jawa Timur, Komisaris Besar Argo Yuwono, mengatakan belum ada pemeriksaan kembali terkait dengan dugaan adanya gratifikasi terhadap Sudarminto dkk. “Adanya gratifikasi, biar penyidik yang membuktikan,” ujarnya.
Kasus ini bermula dari peristiwa penganiayaan yang mengakibatkan tewasnya Salim pada 26 September 2015. Dari pemeriksaan tersebut, polisi menangkap Haryono, kepala desa, dan puluhan tersangka lain dalam berbagai kasus, yakni penganiayaan, pembunuhan, penambangan liar, dan pencucian uang.
Haryono lalu mengungkapkan adanya keterlibatan beberapa oknum polisi dan pejabat. Di antaranya Sudarminto dkk itu. Belum jelas juga apakah putusan dari sidang disiplin itu sudah dieksekusi terhadap ketiganya.
SITI JIHAN SYAHFAUZIAH