TEMPO.CO, Jakarta - Lempar jumroh yang menyimbolkan perlawanan umat muslim terhadap setan dianggap sebagai tahapan haji paling berbahaya.
"Soalnya jemaah yang melakukan itu bisa jutaan dan berkumpul di satu tempat," kata Pengurus Pondok Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid saat dihubungi Kamis, 24 September 2015. (Baca: Cerita Aher Soal Detik-Detik Tragedi Mina)
Jika dibandingkan dengan ritual lainnya, seperti wakaf misalnya, aktivitas melempar jumroh juga paling menguras stamina. Karena berdesakkan ditambah cuaca panas, ujarnya, maka jemaah bisa kelelahan.
"Bisa terjadi kericuhan juga, apalagi kalau sudah terjadi saling dorong," ujarnya. "Kalau ibadah lain seperti wukuf kan dilakukan dengan berdiam diri dan berdoa, sehingga bisa lebih tertib."
Sedikitnya, 310 orang tewas dan 400 terluka dalam tragedi di Mina, Kamis pagi, 24 September 2015. Seperti dikutip dari BBC, peristiwa ini terjadi saat para jemaah haji berdesakan di jalur menuju lokasi lempar jumroh.
Ini merupakan insiden ketiga yang terjadi pada musim haji kali ini. Pada 11 September lalu, puluhan jemaah haji meninggal dunia akibat tertimpa crane raksasa di proyek perluasan Masjidil Haram. Tiga hari kemudian ribuan tamu Allah dievakuasi karena kebakaran yang terjadi di sebuah hotel di Mekkah.
Menurut Gus Solah, panggilan akrab Salahuddin, kejadian semacam ini harusnya bisa dihindari. "Seharusnya lempar jumroh itu dibuat lebih tertib," ujar dia.
Menurut Gus Solah, setiap tahun jumlah peserta haji terus bertambah. "Sewaktu saya haji tahun 1974 kondisinya berbeda karena masih sepi." (Baca: TRAGEDI MINA: Saksi Mata Itu Berkisah, Terhimpit, Kepanasan)
Meski begitu, Gus Solah berpendapat, peristiwa ini dimaknai sebagai takdir Tuhan. "Umat muslim jangan jadi takut untuk melaksanakan ibadah haji, kita harus berserah diri dan ikhlas."
Dia juga mengimbau umat muslim di Indonesia untuk mendoakan para jemaah haji yang tertimpa musibah ini.
PRAGA UTAMA