TEMPO.CO, Bogor – Wafatnya Prof Dr Ir Go Ban Hong pada usia 90 tahun bukan hanya meninggalkan idealisme, tapi juga konsistensi seorang akademikus yang tidak mau makan nasi sebelum Indonesia swasembada beras.
Selain meninggalkan berbagai temuan ilmiah dalam ilmu pertanahan, pensiunan guru besar Institut Pertanian Bogor tersebut meninggalkan segudang buku yang selalu menemaninya selama masa hidupnya. Rencananya, buku-buku almarhum akan disumbangkan dan diwariskan untuk sivitas IPB.
"Rencananya, kami, keluarga, akan menyumbangkan semua buku-buka yang menjadi kesayangan beliau kepada pihak IPB," ucap Juanda H. Sidabutar, juru bicara keluarga yang juga menantu mendiang Go Ban Hong, kepada Tempo, Ahad, 9 Agustus 2015.
Juanda mengatakan buku-buku peninggalan Go Ban Hong tersebut jumlahnya ribuan serta masih tersusun rapi dan apik di rak dalam gudang atau ruangan berukuran 4 x 5 meter persegi. "Ribuan buku ini tersimpan rapi dalam rak khusus dalam satu ruangan di kediamannya, Jalan Bondongan, Kompleks 212, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor," ujarnya.
Ribuan buku ini sebagian besar tentang pertanahan; jurnal ilmiah, baik dari dalam maupun luar negeri; dan buku dengan bidang keilmuan lain. "Bahkan, dari ribuan koleksi buku peninggalan Pak Go, tidak sedikit merupakan buku langka dan peninggalan Belanda," tuturnya.
Rencana disumbangkannya satu gudang buku yang jumlahnya ribuan untuk perpustakaan IPB itu bertujuan agar dapat dimanfaatkan mahasiswa IPB. "Sengaja kami akan sumbangkan ke perpustakaan IPB karena memang Pak Go pun dibesarkan, mengabdi, serta mengisi lebih separuh hidupnya untuk IPB, dan di perguruan tinggi itu buku-buku ini bermanfaat, " kata Juanda.
Go Ban Hong meninggal pada Jumat, 7 Agustus 2015, di Rumah Sakit BMC setelah beberapa kali menjalani perawatan intensif di ruang ICU. Go Ban Hong meninggalkan tiga anak (satu laki-laki dan dua perempuan) serta tujuh cucu. "Beliau sempat dilarikan ke ruang ICU karena sempat tidak mau makan, sehingga kondisinya drop," ucap Juanda.
M. SIDIK PERMANA