Pemilihan sistem formatur, kata Nusron, juga berangkat dari evaluasi pelaksanaan Muktamar di Makassar, Sulawesi Selatan, lima tahun silam. Ketika itu Rais Am dan Ketua Umum PBNU dipilih secara langsung. "Kami melihatnya tidak elok, kemudian kami berpikir saatnya diakhiri."
Ide untuk kembali ke sistem AHWA pertama kali dicetuskan oleh Rais Aam Sahal Mahfudh dalam Rapat Pleno ke-2 PBNU di Wonosobo, Jawa Tengah, 6-8 September 2013. Gagasan itu lantas dibahas dan disepakati dalam Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar ke-2 pada 2-3 November 2014 di Jakarta, serta diperkuat dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama ke-3 pada 14-15 Juni 2015 di Jakarta.
Mantan Ketua PBNU, Salahuddin Wahid atau Gus Solah, mengatakan mekanisme pemilihan Rais Am maupun Ketua Umum Tanfidziyah harus disepakati dalam Muktamar sebagai forum tertinggi. Dia tidak setuju jika mekanisme hanya dibahas dalam forum setingkat Konferensi Besar. "Keputusan dalam Konbes masih harus dimintai persetujuan dalam Muktamar," katanya, Jumat pekan lalu.
Sikap penolakan juga muncul dari mantan Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Tengah, Muhammad Adnan. Dia khawatir mekanisme AHWA justru memangkas legitimasi Rais Am karena tidak dipilih langsung peserta muktamar. "Perlu dipertimbangkan, apakah organisasi NU yang memiliki 60 juta pengikut itu, Rais Am-nya hanya ditentukan oleh sembilan orang," ujar calon Ketua Umum PBNU ini.
MAHARDIKA | EDWIN FAJERIAL | ISHOMUDDIN | SOHIRIN
Selanjutnya >> Kiai Said dan Penantangnya