TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengatakan hingga saat ini belum menerima dokumen rekomendasi resmi dari Komisi Yudisial terkait sanksi terhadap hakim Sarpin Rizaldi. KY meminta hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu diskors nonpalu selama enam bulan. Hatta membantah menolak menandatangani rekomendasi dari Komisi Yudisial.
"Sampai saat ini kami belum menerima, jadi bukannya kami menunda untuk segera meneken rekomendasi itu," kata Hatta, di kantornya, Kamis, 9 Juli 2015. "Begitu surat rekomendasi tiba, kami akan mempelajarinya dengan seluruh pimpinan."
Hatta mengatakan saat ini Mahkamah belum bisa memastikan apakah akan menyetujui rekomendasi nonpalu terhadap Sarpin dari Komisi Yudisial. "Jadi sekarang kami belum bisa menyatakan menolak atau menerima. Kami tidak bisa memutuskan begitu saja. Kami harus liat, dan disesuaikan dengan faktanya."
Menurut dia, setelah Komisi Yudisial menjatuhkan sanksi nonpalu kepada Sarpin, Mahkamah langsung mengundang hakim tunggal yang menangani sidang praperadilan Komisaris Jenderal Budi Gunawan itu ke kantornya. Hatta mengatakan sudah memerintahkan Badan Pengawas Mahkamah Agung untuk segera memeriksa Sarpin.
"Hasilnya tidak ada petunjuk bahwa Sarpin melakukan penyalahgunaan wewenang," kata Hatta. "Itu semua semata-mata hanya masalah teknis. Bukan kesalahan dia sebagai hakim."
Komisi Yudisial menjatuhkan sanksi skorsing kepada hakim Pengadilan Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi, karena terbukti melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. Sarpin dihukum tak boleh menangani perkara selama enam bulan.
Sarpin dinilai terbukti melakukan sejumlah pelanggaran saat memimpin sidang praperadilan Komisaris Jenderal Budi Gunawan dan merespons kritik pasca-putusan. Meski demikian, Komisi Yudisial enggan menilai substansi putusan yang membatalkan status tersangka Budi Gunawan. Alasannya, hal tersebut merupakan kewenangan Mahkamah Agung.
Komisi Yudisial menilai Sarpin tak teliti dan tidak profesional dalam menyusun pertimbangan putusan praperadilan. Sarpin salah mengutip kesaksian guru besar Universitas Parahyangan, Arief Sidharta, dalam amar putusan. Sarpin juga keliru mencantumkan identitas dengan menyebut Arief sebagai ahli hukum pidana, yang semestinya ahli filsafat hukum.
REZA ADITYA