TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah anak pengungsi Rohingya di Makassar, Sulawesi Selatan, terpaksa putus sekolah karena orang tuanya mengalami kesulitan ekonomi. Mereka hanya bertumpu pada bantuan dana dari International Organization for Migration (IOM). Selama di Indonesia, pengungsi Rohingya dilarang bekerja. Praktis, tak ada penghasilan tambahan yang diperoleh.
Salah seorang pengungsi Rohingya, Muhammad Thoyib, 45 tahun, yang 'dituakan' mengaku tidak bisa berbuat banyak menghadapi persoalan tersebut. Ia pun terkadang miris melihat para penerusnya itu terpaksa berhenti sekolah. "Beberapa anak memang harus putus sekolah," kata dia, Senin, 25 Mei 2015.
Thoyib bersama 35 pengungsi Rohingya lainnya tinggal di Wisma Budi, Kelurahan Maricaya, Kecamatan Makassar. Ia menyebut cuma segelintir anak pengungsi Rohingya yang masih bersekolah. Kebanyakan berakhir dengan cerita sedih lantaran tidak mempunyai cukup anggaran guna melanjutkan pendidikan sang anak.
Dalam komunitasnya, Thoyib menyebut paling tidak sudah lima anak yang berhenti sekolah. Di antaranya, Habiba, 9 tahun, Moh Azis (16), Nur Azizah (14), Nur Syaidah (8), dan Moh. Syahi (11). Tercatat cuma 3 dari 13 anak pengungsi Rohingya di komunitas itu yang masih menempuh pendidikan. Itu pun di bangku sekolah dasar.
Thoyib mengatakan sejumlah anak putus sekolah dipicu pelbagai faktor. Selain problema finansial, masalah lain adalah perlakuan kurang menyenangkan dari segelintir anak pribumi. Hal itu membuat anak pengungsi Rohingya merasa kurang nyaman menempuh pendidikan di sekolah negeri.
Karena itu, kebanyakan anak pengungsi Rohingya ingin melanjutkan pendidikan di sekolah swasta, seperti Metro School Makassar. Masalahnya, IOM hanya mau membiayai pendidikan para imigran di sekolah negeri. Itu pun di luar ongkos akomodasi sang anak yang menjadi tanggungan orang tua.
Selama di Indonesia, para pengungsi Rohingya memperoleh bantuan dana tetap setiap bulannya. Jumlahnya, Rp 1,25 juta untuk orang dewasa dan Rp 500 ribu untuk anak. Dana itulah yang dipakai Thoyib dan kawan-kawan untuk memenuhi keperluan hidupnya, selain makan dan tempat tinggal yang merupakan tanggungan IOM.
Meski begitu, Thoyib mengaku sangat bersyukur telah diterima oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia dengan baik. "Kami merasa sangat aman di sini, jauh dari ancaman pembantaian hanya karena agama kami Islam," tuturnya.
Ketua RT 01 RW 05, Kelurahan Maricaya, Elisabeth W Fransisca alias Fanny, 41 tahun, menerangkan berdasarkan data yang diperolehnya, memang tinggal 3 anak pengungsi Rohingya yang masih mengenyam pendidikan. Di antaranya, satu orang di SLB dan dua orang di Metro School Makassar.
Di Makassar, para pengungsi Rohingya ini tinggal di sejumlah tempat penampungan sementara. Mereka berbaur dengan imigran lain asal Afganistan, Malaysia, dan Iran. Jumlah mereka di Kota Angin Mamiri itu ditaksir mencapai sekitar 200 jiwa. Mereka sebatas transit untuk selanjutnya dibawa ke negara ketiga yang menjadi destinasinya.
TRI YARI KURNIAWAN