TEMPO.CO, Makassar - Seorang pengungsi Rohingya, Muhammad Thoyib, 45 tahun, mengaku mendapat bantuan berupa uang. Jumlahnya Rp 1,25 juta untuk orang dewasa dan Rp 500 ribu untuk anak.
Uang itu dipakai Thoyib beserta 35 pengungsi Rohingya lainnya untuk memenuhi keperluan hidupnya, selain makan dan tempat tinggal yang merupakan tanggungan International Organization for Migration (IOM). "Kami merasa sangat aman di sini, jauh dari ancaman pembantaian hanya karena agama kami Islam," kata Thoyib, Senin 25 Mei 2015.
Thoyib bersama puluhan pengungsi Rohingya kini tinggal di Wisma Budi, Kelurahan Maricaya, Kecamatan Makassar. Di Makassar, para pengungsi Rohingya ini tinggal di sejumlah tempat penampungan sementara. (Baca: Demi Pengungsi Rohingya, Zulkifli Hasan Beli 7 Akik)
Mereka berbaur dengan imigran lain asal Afganistan, Malaysia dan Iran. Jumlah mereka di Kota Angin Mamiri itu ditaksir mencapai sekitar 200 jiwa. Mereka sebatas transit untuk selanjutnya dibawa ke negara ketiga yang menjadi destinasinya.
Thoyib mengaku pihaknya sangat bersyukur telah diterima oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia dengan baik. Dia memimpikan tanah kelahirannya bisa meniru Indonesia dalam toleransi beragama.
Meski diterima di Indonesia, Thoyib mengaku sedih karena anak-anak pengungsi Rohingya putus sekolah. Mereka terpaksa berhenti sekolah lantaran orang tuanya tak punya uang. (Baca: Kenalkan Ashin Wirathu, Biksu Pembenci Muslim Rohingya)
Apalagi selama di Indonesia, pengungsi Rohingya dilarang bekerja. Praktis, tak ada penghasilan tambahan yang dapat diperoleh. "Beberapa anak memang harus putus sekolah," katanya.
Thoyib mengatakan sejumlah anak putus sekolah dipicu pelbagai faktor. Selain problema finansial, masalah lain adalah perlakuan kurang menyenangkan dari segelintir anak pribumi. Hal itu membuat anak pengungsi Rohingya merasa kurang nyaman menempuh pendidikan di sekolah negeri.
Karena itu, kebanyakan anak pengungsi Rohingya ingin melanjutkan pendidikan di sekolah swasta, seperti Metro Scholl Makassar. Masalahnya, IOM hanya mau membiayai pendidikan para imigran di sekolah negeri. Itu pun di luar ongkos akomodasi sang anak yang menjadi tanggungan orang tua. (Baca: Rohingya Dibantai dan Diusir, di Mana Aung San Suu Kyi?)
Ketua RT01/RW05 Kelurahan Maricaya, Elisabeth W Fransisca alias Fanny, 41 tahun, menjelaskan dari data yang diperolehnya, memang tinggal 3 anak pengungsi Rohingya yang masih mengenyam pendidikan. Di antaranya, satu orang di SLB dan dua orang di Metro Scholl Makassar.
TRI YARI KURNIAWAN