TEMPO.CO, Tulungagung - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tulungagung, Jawa Timur, mendesak pemerintah daerah membumihanguskan bangunan eks lokalisasi di Ngujang, Kecamatan Kedungwaru dan Kaliwungu, Kecamatan Ngunut. Desakan itu sebagai tindak lanjut pengusiran 381 pekerja seks komersial pekan lalu.
Anggota MUI Tulungagung Fathur Rouf mengatakan upaya pemerintah daerah untuk mengosongkan dua lokalisasi terbesar Kaliwungu dan Ngujang tak cukup mengenyahkan praktek prostitusi dari kabupaten ini. “Seluruh bangunan seperti kamar, tempat karaoke, dan kafe disana harus dilenyapkan,” kata Fathur, Kamis, 14 Mei 2015.
Baca Juga:
Menurut dia pemerintah daerah harus meruntuhkan rumah-rumah lokalisasi tersebut agar tak bisa ditempati lagi. Sebab jika masih berdiri, dikhawatirkan para pekerja seks dan muncikari yang pernah tinggal di tempat tersebut akan kembali lagi. "Bisa saja mereka berpikir penutupan yang dilakukan aparat Satuan Polisi Pamong Praja, Kepolisian, dan TNI pekan lalu hanya sementara," kata dia.
Pemerintah Kabupaten Tulungagung, ujar Fathur, memang masih bisa menjamin tak ada aktivitas mesum di lokalisasi tersebut. Sebab sejak satu pekan terakhir polisi dan tentara diperintahkan untuk menjaga bekas lokalisasi itu.
Selain mengantisipasi kerawanan paska penutupan paksa pekan lalu, aparat juga diperintahkan mengusir pekerja seks dan muncikari yang balik kucing. “Selama dijaga aparat memang aman, tapi setelah aparat pergi bagaimana,” kata Fathur.
Lokalisasi Kaliwungu dihuni 176 pekerja seks. Sebagian dari mereka diduga menyaru sebagai pemandu lagu di 69 kafe dan 100 rumah karaoke yang sebelumnya berbentuk wisma prostitusi. Namun setelah penutupan kemarin, tak ada satupun rumah karaoke dan kafe yang beroperasi.
Usai pemulangan para pekerja seks, tempat -tempat itu dibiarkan kosong. Karena itu MUI Tulungagung mendesak pemerintah daerah agar bangunan tersebut diratakan dengan tanah saja mengingat statusnya juga milik kas desa.
Wakil Bupati Tulungagung Maryoto Bhirowo mengatakan tak keberatan membumihunguskan eks lokalisasi. Namun langkah itu perlu koordinasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah agar tak menimbulkan persoalan baru. “Soal meratakan bangunan dengan tanah kita masih perlu koordinasi dengan DPRD, “ ujarnya.
HARI TRI WASONO