TEMPO.CO , Yogyakarta: Ketua Forum Persaudaran Umat Beriman, Kyai Abdul Muhaimin, menyayangkan isi Sabdaraja yang mengganti gelar Raja Kraton Yogyakarta. Dia menilai penggantian gelar itu membingungkan masyarakat Yogyakarta. "Bisa memunculkan polarisasi tidak terkendali," kata dia pada Selasa, 5 Mei 2015.
Menurut Muhaimin, gelar lama Sultan menggambarkan konsep kepemimpinan politik dan spritual yang menjadi warisan sejarah panjang Mataram Islam. Penggantiannya menimbulkan pertanyaan luas di masyarakat Yogyakarta. "Rakyat Yogyakarta bisa bergolak, sekarang sudah banyak yang bertanya-tanya soal maksud Sabdaraja itu," ujarnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat ini berpendapat konsep kepemimpinan komprehensif terwakili di nama gelar Sultan Kraton Yogyakarta selama ini, yakni Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat. Di gelar ini ada kesatuan nilai budaya Jawa dan Islam.
"Kepemimpinan negara menyatu dengan kepemimpinan agama, makanya layak disebut khalifatullah," kata Muhaimin.
Namun, dengan penghapusan gelar "khalifatullah", menurut Muhaimin, konsep kepemimpinan yang lama menjadi tereduksi nilainya. Penggantian gelar ini sekaligus memutus rantai konsistensi sejarah Kraton Mataram Islam. "Nama agung dinas Mataram Islam menjadi tereduksi," ujar dia.
Muhaimin menambahkan penghapusan gelar "Khalifah" juga menurunkan derajat kewibawaan kepemimpinan Raja Kraton Yogyakarta. Dia khawatir isi Sabdaraja justru mengkerdilkan kedudukan raja di mata masyarakat. "Ini berpengaruh ke identitas Kraton Yogyakarta," kata dia.
Dia juga menganggap kemunculan Sabdaraja tidak meredakan masalah polemik di isu suksesi Raja Kraton Yogyakarta. Muhaimin tidak sepakat dengan pemahaman perubahan gelar itu bisa memuluskan kemunculan Sultan perempuan. "Simbol-simbol pemimpin di Kraton Yogyakarta merujuk ke figur laki-laki semua," kata dia.
Sedangkan Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada, Heddy Shri Ahimsa Putra, menganggap kemunculan Sabdaraja menjadi penanda penting bahwa Kraton Yogyakarta telah berubah. Penghapusan gelar Khalifah itu melenyapkan separuh dari derajat keistimewaan Yogyakarta. Masyarakat harus siap melihat kraton sudah berubah.
Heddy menilai Sabdaraja memang tampak berkaitan dengan isu suksesi di Kraton Yogyakarta, yang selama ini, diriuhkan dengan perdebatan keabsahan Sultan perempuan. Tapi, menurut Heddy, masalah ini hanya kelanjutan dari pertentangan antara nilai sistem politik modern dengan tradisional yang mengiringi Kraton Yogyakarta sejak era kemederkaan Indonesia modern. "Di sistem politik modern, gubernur bisa laki-laki dan perempuan, kalau tradisional, Sultan harus laki-laki," kata dia.
Adapun Rois Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DIY, Kyai Asyhari Abta, menganggap penggantian gelar di isi Sabdaraja merupakan hak prerogratif Sultan Hamengku Buwono X. Meskipun demikian, menurut Asyhari, penghapusan gelar "khalifah" tidak sejalan dengan konsep pemerintahan Kerajaan Mataram Islam. "Identitas kerajaan Islam di Kraton Yogyakarta semakin luntur," kata Asyhari.
Menurut Asyhari, konsep kepemimpinan Kasultanan Islam memang menyatukan kepemimpinan politik dengan agama. Apabila kondisi berubah dari idealnya, menurut Asyhari, peran raja harus menyesuaikan dengan gelarnya dan bukan sebaliknya.
"Namun, itu hak Sultan, kita tidak berhak ikut mengurusi. Meski kurang enak mendengarnya," kata Asyhari.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM