TEMPO.CO, Kudus - Asosiasi Petani Tebu Republik Indonesia (Aptri) menolak rencana Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini M. Soemarno menyediakan pupuk non subsidi khusus bagi komoditas tanaman tebu. Alasannya dengan kebijakan seperti itu petani tebu akan terus merugi. "Seharusnya tidak ada perlakuan berbeda antara komoditas tebu dengan komoditas lainnya," kata Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Aptri, Nur Khabsyin, Selasa, 28 April 2015.
Selama ini petani tebu terbentur peraturan pemerintah yang menyebutkan pupuk bersubsidi hanya untuk lahan garapan seluas dua hektar. Kenyataannya lahan garapan komoditas tebu rata-rata dua hektar lebih. “Akibatnya banyak petani tebu yang mengeluarkan biaya lebih,” kata dia.
Menurut Khabsyin, keputusan pemerintah mengalihkan pupuk dari subsidi ke non subsidi hanya akan menyebabkan harga gula melambung. Akibat lebih jauh, pemerintah akan kesulitan swasembada gula. "Rencana pupuk non subsidi tidak efektif untuk melakukan wasembada gula," ujarnya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh petani tebu di Kudus, Jawa Tengah, Edy. "Kalau caranya gini sampai kiamat pun enggak akan bisa swasembada," kata dia.
Ia mengatakan selama menjadi petani tebu selama 25 tahun. Masa kejayaan gula terjadi pada masa sebelum reformasi. Harga pupuk saat itu bagi petani lebih bersahabat daripada saat ini. Kini harga pupuk non subsidi per kuintalnya dihargai Rp 250 ribu.
Baca Juga:
Baginya harga ini terlalu mahal mengingat tanaman tebu harus diberi pupuk selama dua kali sebelum masa panen. Selain itu biaya sewa lahan yang tak sebanding dengan keuntungan. Ia mengatakan rata-rata petani tebu di Kudus menyewa lahan garapan Rp 1,5 – Rp 2 juta per petak. Dari luasan petak yang mencapai 1400 meter itu, petani mendapatkan hasil panen 10 ton tanaman tebu. Dari harga satu petak tanaman tebu itu hanya dihargai Rp 2,5 juta. "Kami minta pupuk untuk tebu harus disubsidi dan juga lebih dipermudah kalau mau beli pupuk," ujar Edy.
FARAH FUADONA