TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan eksekusi hukuman mati merupakan keputusan pemerintah yang tak bisa diintervensi. Terlebih intervensi dari pihak asing atau negara lain.
"Kita negara berdaulat tak boleh diintervensi, lagi pula ini urusan dalam negeri Indonesia," kata Ryamizard kepada wartawan di Jakarta, Selasa, 28 April 2015.
Menurut mantan Kepala Staf Angkatan Darat itu, keputusan eksekusi hukuman mati merupakan buah pemikiran matang Presiden Joko Widodo. Alhasil, pelaksanaan eksekusi hukuman mati merupakan keputusan yang terbaik.
Menurut Ryamizard, sepuluh terpidana mati kasus peredaran narkoba pantas untuk dieksekusi. Musababnya, para pengedar narkoba sangat merugikan Indonesia.
Ryamizard mencatat, dalam satu hari, ada sekitar 50 nyawa warga Indonesia yang melayang akibat penyalahgunaan narkoba. Dalam satu bulan setidaknya ada 1.500 orang Indonesia yang meninggal akibat narkoba.
"Dalam satu tahun bisa capai 18 ribu korban mati dan 4,5 juta orang direhabilitasi per tahun. Ini luar biasa," ujarnya.
Menurut dia, lebih baik mengorbankan 10 nyawa terpidana mati ketimbang 18 ribu masyarakat Indonesia yang berpotensi menjadi korban narkoba. Pelaksanaan hukuman mati bukan semata untuk membunuh para terpidana, tapi lebih ditujukan untuk memberikan efek jera.
"Bayangkan, di dalam sel saja, mereka masih bisa kendalikan peredaran narkoba, apalagi kalau dibebaskan," tuturnya.
Saat ini sepuluh terpidana mati sudah dikumpulkan jaksa eksekutor di Nusakambangan. Mereka adalah Martin Anderson (Nigeria), Raheem Agbajee Salame (Nigeria), Okwudili Oyatanze (Nigeria), Sylvester Obiekwe Nwolise (Nigeria), Rodrigo Gularte (Brasil), Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina), Andrew Chan (Australia), Myuran Sukumaran (Australia), Serge Areski Atlaoi (Prancis), dan Zainal Abidin (Indonesia).
Kemarin, Kejaksaan Agung menetapkan penundaan pelaksanaan eksekusi mati Serge Areski Atlaoi. Serge dan pengacaranya mengajukan permohonan peninjauan kembali atas vonis kasusnya.
INDRA WIJAYA