Kawasan yang memiliki signifikansi jasa lingkungan ekosistem hutan alam tropis yang sangat tinggi atau kawasan yang bernilai konservasi tinggi, kata Togu, jangan dibuka. Misalnya di kawasan Heart of Borneo Kalimantan atau di Papua. Termasuk jangan membuka tutupan hutan di lahan terlantar di kawasan hutan. Bila ditemukan adanya kawasan berhutan yang statusnya APL (areal penggunaan lain) disarankan untuk tidak dibuka.
Pemerintah juga diharapkan tidak memaksakan angka luasan sebagaimana yang direncanakan, bila kajian dampak lingkungan dan sosial program tersebut belum dilakukan. Pendekatan bertahap, dengan mengeksekusi program pada wilayah yang dinyatakan layak lingkungan dan sosial saja, akan membuat program ini benar-benar bisa bermanfaat.
Indonesia memiliki lahan terlantar/tidak produktif yang sangat luas yang berada di kawasan hutan, sekitar 14 juta hektare, bahkan perhitungan lainnya mencapai angka 30 juta hektaree. Disarankan agar lahan yang terlantar tersebut bisa diprioritaskan untuk dimanfaatkan, tentunya dengan dilakukan kajian mendalam terlebih dahulu.
Ketiga, pengelolaan dampak sosial harus dilaksanakan dengan tujuan peningkatan kesejahteraan petani. Togu mengatakan mega proyek pemerintah Jokowi harus tepat sasaran. "Jangan sampai lahan itu jatuh ke kalangan elit lokal," katanya. Oleh karena itu perlu identifikasi petani peserta program, terutama masyarakat adat dan masyarakat lokal yang berada pada lokasi program. Prioritas harus diberikan kepada para petani tuna kisma (yang sama sekali tidak memiliki lahan) dan gurem (yang memiliki lahan sangat kecil).
Untuk itu, pemerintah harus memperhatikan lokasi sebaran petani marjinal di Indonesia sehingga pembukaan lahan bisa dimaksimalkan penggunaannya. Sebagian besar petani gurem dan tuna kisma itu ada di Jawa. Mereka bisa diprioritaskan tetapi tidak harus dengan memindahkannya atau transmigran ke luar Jawa. Jalal menjelaskan di Jawa banyak ditemukan tanah absentee atau tanah pertanian yang letaknya berjauhan dengan pemiliknya. "Manfaatkan tanah ini, ketimbang menganggur," katanya.
Keempat, pembagian kepemilikan tanah agar dijamin kepada masyarakat yang berhak untuk mendapatkan lahan yang menjadi tujuan reforma agraria. Kepemilikan tanah ini disertai dengan sertifikat hak milik yang tidak dapat dipindahkan kepemilikannya, diperjualbelikan dan diagunkan dalam masa minimal 10 tahun. Sehingga pengelolaan tanah dapat dijami keberlangsungannya secara produktif untuk tanah pertanian sesuai dengan tujuan mulia reforma agraria.
Ari Mochamad menjelaskan banyak pelajaran yang dapat diambil dari program pembangunan berbasis pertanian dan kehutanan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua saat ini. "Kerusakan lingkungan dan disharmoni sosial yang terjadi menjadi pelajaran berharga tentang keharusan menerapkan environment and social safeguard dalam program reforma agraria ini," katanya.
UNTUNG WIDYANTO