Menteri Ferry Mursidan Baldan yang berasal dari Partai Nasional Demokrat, menjelaskan pihaknya akan mengurus administrasi, sementara lahan disiapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Menteri Amran Sulaiman mengemukakan, pemerintah berencana membangun 10 unit pabrik gula yang membutuhkan lahan 500 ribu hektare.
Lalu dibutuhkan lahan 500 ribu hektare lagi untuk food estate yang rencananya dibangun di Kalimantan. "Kemudian satu juta hektare lagi kita rencanakan untuk membangun pabrik perkebunan kelapa sawit di perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Jadi total lahan yang dibutuhkan 2 juta hektare,” kata Amran, pendiri dan pemilik Grup Tiran, perusahaan yang bergerak di pabrik gula, kebun kelapa sawit, industri pestisida dan pertambangan.
Dari mana lahan 9 juta hektare itu diperoleh? Bisa berasal dari tanah otoritas Badan Pertanahan Nasional, kata Menteri Siti Nurbaya, atau dari kawasan hutan produksi yang bisa dikonversi karena tanah tersebut akan dilepas menjadi tanah petani. "Luasnya 4,1 juta sampai 4,5 juta hektare dari kawasan hutan," kata Siti, mantan Sekretaris Jenderal Kementrian Dalam Negeri dan Dewan Perwakilan Daerah.
Siti menjelaskan ada 13,1 juta hektare hutan produksi konversi yang bisa dilepas. Namun, 7,8 juta hektare telah dipakai, seperti 900.000 hektare untuk transmigrasi. Walhasil masih ada 5,3 juta hektare lahan yang tersisa. Menurut Siti yang jadi politisi Partai Nasional Demokrat, masih ada ruang bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengkonversi kembali lahannya buat rakyat.
Lahan itu akan dibagi melalui pola kemitraan transmigrasi dengan perkebunan. Ada transmigrasi biasa, ada pula transmigrasi yang bekerjasama dengan kemitraan rakyat. Siti menjelaskan targetnya mencakup 4,5 juta jiwa penduduk miskin. Menteri Siti berharap, kebijakan ini bisa menambah kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0,8 hektare menjadi 2 hektare untuk seorang petani.
Thamrin School of Climate Change and Sustainability menilai target ambisius 9 juta hektare untuk pertanian dari pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla ini harus melalui serangkaian kajian. "Pertama, kajian dampak lingkungan dan sosial dilakukan secara komprehensif sebelum keputusan mengeksekusi program," kata Farhan yang sebelumnya Manajer Indonesia Climate Change Center (ICCC).
Kedua, pengelolaan lingkungan hidup harus dilaksanakan secara optimal dengan menghindari atau meminalkan potensi dampak negatif yang mungkin terjadi. Togu Manurung menjelaskan, program itu direncanakan pada dua lokasi besar yaitu lahan APL (area penggunaan lain) dan kawasan hutan. Perlu dipastikan bakal lahan bukan berasal dari hutan berkonservasi tinggi. "Penentuan lahan bukan menjadi kedok kolaborasi oknum aparat pemerintah dan pengusaha untuk memanen kayu dari hutan," kata Togu yang juga menjabat Ketua Perkumpulan Forest Watch Indonesia.