TEMPO.CO , Malang:Pola komunikasi publik Presiden Joko Widodo dinilai berubah sejak menjadi Presiden. Pakar komunikasi Universitas Brawijaya Malang, Anang Sujoko menilai perubahan pola komunikasi Jokowi dipengaruhi kekuatan internal di sekitar Jokowi. "Ada sesuatu yang hilang. Jokowi sempat tak bersedia diwawancarai wartawan saat awal polemik KPK dan Polri," katanya, Rabu, 11 Februari 2015.
Menurut Anang, sebelumnya Jokowi cenderung mudah berkomunikasi dan terbuka dengan media. Sehingga keengganan Jokowi dimintai keterangan wartawan, bukan gaya Jokowi sesungguhnya. Jokowi saat itu, katanya, berhati-hati dan khawatir keliru saat menyampaikan pendapat kepada media massa. "Saya pesimis Jokowi bisa keluar dari tekanan internal yang sarat dengan kepentingan," katanya.
Untuk mendobrak kebuntuan Jokowi tersebut, dibutuhkan tekanan dari kekuatan eksternal. Seperti kekuatan masyarakat sipil, relawan dan Partai yang berada di barisan Koalisi Merah Putih bisa menjadi penyeimbang. Sehingga Jokowi bisa tak tertekan oleh kekuatan internalnya sendiri.
Selain itu, Jokowi sebagai Presiden membutuhkan juru bicara yang memahami cara komunikasi dengan publik. Presiden, katanya, merupakan simbol negara dan pemegang kebijakan. Sehingga semua pernyataan ke media harus disaring terlebih dahulu.
Anang membandingkan dengan Susilo Bambang Yudhoyono saat menjadi Presiden pola komunikasinya cenderung lebih kalem dalam berkomunikasi. Termasuk dalam menyelesaikan berbagai persoalan. SBY, katanya, tak terjun langsung dalam mengatasi sebuah masalah namun mengoptimalkan orang-orang penting di sekitarnya. "SBY memainkan pion-pionnya sedangkan Jokowi cenderung reaksional," katanya.
EKO WIDIANTO