TEMPO.CO, Jakarta - Seluruh fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat satu suara hendak mengutak-atik sejumlah kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi. Persetujuan itu ditunjukkan dengan dimasukkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ke daftar 159 undang-undang yang akan direvisi dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 pada rapat paripurna, Senin, 9 Februari 2015.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Firman Subagyo mengatakan masuknya revisi Undang-Undang KPK dalam prolegnas merupakan usulan Komisi Hukum DPR. Revisi itu, menurut Firman, merupakan bagian tak terpisahkan dari rencana DPR mengubah sejumlah hal substansial dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata tahun ini.
"Setelah revisi KUHP dan KUHAP selesai, kami akan melakukan penyesuaian tak hanya terhadap Undang-Undang KPK, tapi juga Undang-Undang Kejaksaan dan Kepolisian," ujar Firman di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa, 10 Februari 2015.
Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Gerindra, Wenny Warouw, mengatakan fraksinya akan mendorong sejumlah perubahan dalam revisi Undang-Undang KPK yang bakal dibahas nanti. Salah satu poin yang bakal dibahas, menurut dia, adalah soal penyadapan. "Harus jelas aturannya, apakah perlu izin atau tidak, sehingga tak perlu sembarang menyadap," ujarnya.
Poin lain yang perlu diubah, menurut Wenny, adalah ihwal prosedur penyelidikan dan penyidikan. Selama ini tak ada batasan detail mengenai hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan penyidik KPK selama proses penyelidikan dan penyidikan.
Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Hanura, Syarifuddin Sudding, lebih mempersoalkan prosedur penetapan seseorang menjadi tersangka. Menurut dia, selama ini seseorang bisa menyandang status tersangka dari KPK lebih dari satu tahun tanpa ada kejelasan kasus hukum. "Ini membuat hilangnya kepastian hukum," tuturnya.
Beberapa fraksi juga mempersoalkan tak adanya lembaga pengawas KPK. Sekretaris Jenderal Partai NasDem yang juga anggota Komisi Hukum, Patrice Rio Capella, mengatakan, sebagai lembaga negara, KPK juga memerlukan lembaga pengawas yang independen untuk memantau perilaku komisioner, penyidik, dan pegawai komisi antirasuah tersebut. "Masak, lembaga lain, bahkan presiden, punya lembaga pengawas, tapi KPK tidak ada," ujar Rio.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Ronald Rofiandri, curiga masuknya revisi Undang-Undang KPK dalam prolegnas DPR ditumpangi kepentingan segelintir orang. Ia menduga ada upaya menggembosi KPK lewat revisi ini. Ronald mengatakan rencana revisi Undang-Undang KPK juga tak mendesak. “Selama ini publik tak pernah mendengar adanya permintaan dari KPK sebagai pihak yang paling berkepentingan terhadap revisi,” katanya.
Wakil Ketua KPK Zulkarnain mengatakan lembaganya belum membutuhkan revisi Undang-Undang KPK. Menurut dia, dengan undang-undang yang ada sekarang, KPK terbukti tetap bisa menjalankan fungsinya. Bahkan, kata dia, kinerja KPK, berdasarkan hasil audit kinerja dan audit keuangan Badan Pemeriksa Keuangan, tak pernah bermasalah. Daripada merevisi Undang-Undang KPK, dia menyarankan, lebih baik DPR memprioritaskan revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Perampasan Aset. "Untuk apa boros biaya dan tenaga untuk revisi Undang-Undang KPK?" ujarnya.
IRA GUSLINA