TEMPO.CO, Bandung -Hampir setahun penerapan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS), namun belum semua wartawan di Bandung ditanggung asuransinya oleh perusahaan media. Mereka membayar premi sendiri agar bisa mendapat layanan kesehatan dan perlindungan risiko kerja, uang pensiun, hingga jaminan kematian.
Wartawan harian lokal di Bandung, Bambang mengatakan, ia pernah kelimpungan saat istrinya melahirkan anak pertama dengan biaya Rp 5 juta di rumah sakit. Selang beberapa bulan kemudian, ia yang butuh biaya Rp 6 juta untuk operasi ginjal. Setelah dua hari dirawat dengan tubuh yang belum pulih, Bambang memutuskan pulang ke rumah. "Tidak jadi dioperasi, uangnya dari mana," kata dia.
Kantornya sampai saat ini belum menjamin asuransi kesehatan bagi wartawan berstatus karyawan itu. Begitu pula tanggungan kecelakaan kerja. "Dulu pernah isi formulir BPJS, tapi realisasinya tidak ada," ujar dia. Hal serupa dialami Arie, seorang jurnalis sebuah radio di Bandung.
Selama lima tahun lebih, ia menanggung sendiri asuransi kesehatan dan risiko kecelakaan kerja. "Waktu 2008 pernah minta asuransi ke orang kantor, katanya akan diusahakan. Tapi sampai sekarang tidak ada," ujarnya. Saat anaknya sakit, upaya meminjam uang ke kantor pun ditolak. Biayanya hanya bisa diringankan dengan cara pemuatan kiriman laporan berita sebanyak mungkin. Jadi sambil mengurus anaknya yang sakit, ia harus rajin mencari berita. "Manajemen kantor buruk," ujarnya.
Selama beberapa kali anaknya jatuh sakit, biaya penyembuhan itu selalu memakan setengah bulan upahnya. "Sebulan hampir tidak pernah libur, kerja terus tiap hari," kata dia.
Ketika kemudian rekan sesama wartawan bergabung ikut BPJS Kesehatan dan Tenaga Kerja dengan biaya sendiri, Bambang dan Arie ikut. Preminya hanya separuh dari yang biasa disetorkan ke perusahaan asuransi swasta. Selain lebih murah, hidupnya kini menjadi agak tenang, terutama ketika anak-anaknya jatuh sakit. "Pernah harus bayar jaminan jutaan rupiah, setelah diurus waktu pulang hanya bayar Rp 200 ribu," ujar Arie.
Organisasi wartawan seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung dan Aliansi Wartawan Radio Indonesia (Alwari) Bandung, menjadi wadah pengganti institusi kantor media agar wartawan bisa ikut asuransi secara mandiri. Anggota Alwari Bandung Teguh Raharjo mengatakan, dari belasan peserta awal Jamsostek pada 2013, kini tinggal 9 orang yang tersisa.
Mayoritas peserta di Alwari belum ditanggung kantor media lokal dan nasional. "Sebagian keluar karena sudah ditanggung kantornya. Kami memang mendesak seperti itu," kata dia.
Senior manajer BPJS Kesehatan Cabang Utama Bandung Gatot Subroto mengatakan, pihaknya telah mengetahui permasalahan tersebut setelah bertemu dengan kalangan wartawan di Bandung. Ia berjanji untuk mengirimkan surat ke perusahaan media yang belum mendaftarkan pekerjanya dalam program jaminan sosial. "Kirimkan saja alamat surat atau kantor, nanti kami kirim surat soal kewajibannya," kata Gatot, Senin, 22 Desember 2014.
Sementara staf hubungan masyarakat BPJS Tenaga Kerja Bandung Novetra Subuhadi meminta, wartawan memastikan ke kantornya apakah sudah didaftarkan atau belum sebagai peserta jaminan sosial. Selain akan mengingatkan perusahaan media atas kewajibannya itu, pihaknya siap dipanggil untuk sosialisasi di kantor media.
ANWAR SISWADI