TEMPO.CO, Jakarta - Politikus Partai Keadilan Sejahtera, Fahri Hamzah, membantah koalisi pro-Prabowo mempunyai agenda mengubah mekanisme pemilihan presiden, dari pemilihan langsung menjadi pemilihan lewat Majelis Pemusyawaratan Rakyat.
"Enggak ada agenda itu. Makanya, tidak perlu ditanyakan," kata Fahri saat dihubungi Tempo, Kamis, 9 Oktober 2014. (Baca: Usai Geger MPR, Mega-SBY Kunci Stabilitas Politik)
Pernyataan Fahri ini berbeda dengan rekannya satu koalisi, yaitu Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Herman Kadir beberapa waktu lalu. Herman menuturkan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat memecah belah masyarakat. "Kalau pilpres langsung menimbulkan konflik, saya pikir harus dicabut," kata Herman.
Mekanisme pemilihan langsung ini, menurut Herman, merupakan produk politik Barat. Menurut Herman, demokrasi di Indonesia diwakili parlemen. "Kalau perlu, presiden dipilih kembali lewat MPR," ujar anggota Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat itu. (Baca: Jadi Ketua MPR, Zulkifli Hasan Siap Lantik Jokowi)
Di DPR, Herman juga pernah mengusulkan agar amendemen Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan untuk mengembalikan mekanisme pemilihan presiden lewat MPR. "Saya salah satu yang paling keras mengusulkan, tapi tidak disepakati."
Waktu itu, ujar Herman, anggota DPR yang lain menolak karena usulan itu bisa menjadi blunder. "Nanti kita ribet," tutur Herman menirukan perkataan anggota Dewan yang menolak usulan itu. (Baca: Rebutan Ketua MPR, PDIP: Voting Oke, Musyawarah Oke)
Politikus Partai Demokrat, Hayono Isman, sudah memperingatkan publik tentang rencana yang dilontarkan Herman ini. "Kalau koalisi pro-Prabowo bisa menguasai DPRD dan kepala daerah, menguasai MPR pun bisa. Maka, melakukan amendemen mudah sekali."
FEBRIANA FIRDAUS
Berita Terpopuler
Koalisi Prabowo Siap Ajukan Veto untuk 100 Posisi
Tiga Taktik Koalisi Prabowo Rebut Pimpinan MPR
Pacar Mayang Ternyata Juga Pekerja Seks