TEMPO.CO, Solo - Banyak cara untuk bertutur tentang sejarah kehidupan seorang tokoh. Salah satunya, melalui sebuah karya seni. Pelukis asal Solo, Saifuddin Hafiz, membuat biografi Munir melalui lembaran kanvas.
Pameran tunggal seni rupa bertajuk Melawan Lupa itu memang didedikasikan untuk pejuang hak asasi tersebut. Sejumlah 17 karya seni dipajang di ruang pamer yang berada di Perusahaan Rekaman Lokananta, Solo, 12-17 Juli 2014.
Masing-masing karya terdiri dari beberapa lukisan yang memiliki kemiripan. Jika ditotal, ada lebih dari seratus lukisan yang dikerjakan sejak dua puluh bulan lalu. Beberapa buku dan majalah yang pernah menjadi referensi selama berproses digantungkan di sebuah ruang kecil sebagai seni instalasi. (Baca: Menteri Agama Sebut Munir Paling Berjasa dalam HAM)
Sebenarnya, hampir semua lukisan yang ada di ruang pamer itu senada. Lukisannya terfokus dalam potret wajah Munir dengan pose yang sama. Namun, Saifuddin menggabungkannya dengan berbagai kombinasi sehingga lukisan wajah pria berkumis itu tidak terkesan monoton.
Lukisan berjudul Sejarah di Wajah menjadi karya utama dalam pameran itu. Saifuddin menceritakan perjalanan hidup seorang Munir sejak lahir hingga wafatnya. Biografi itu diceritakan melalui deretan lima karya di atas kanvas yang tergantung di dinding ruang pamer.
Dalam lukisan pertama, terlihat wajah Munir yang didominasi warna biru dengan janin bayi di keningnya. Di bawah lukisan tersebut terdapat gundukan tanah dengan sebuah telur di atasnya. Saifuddin mencoba menceritakan kelahiran Munir melalui lukisan tersebut.
Sedangkan lukisan yang berada di sebelahnya masih menonjolkan gambar wajah Munir. Wajah abstrak tersebut berbaur dengan gambar tumpukan buku di bagian pipinya. Dominasi warna hijau dalam lukisan itu menunjukkan masa kanak-kanak di mana Munir mulai mengenyam pendidikan. (Baca: Jenderal Terbelit HAM di Kubu Jokowi dan Prabowo)
Gambar di sebelahnya masih senada. Bedanya, gambar tumpukan buku diganti dengan tumpukan peti berisi masalah serta lukisan timbangan. Bagian tersebut bercerita tentang Munir yang mulai berjuang menegakkan keadilan. Semangat yang tidak pernah padam disimbolkan melalui dominasi warna merah.
Pada lukisan keempat, Saifuddin menghiasi wajah Munir dengan sebatang pensil yang patah di bagian tengah. Di bawahnya terdapat lukisan peluru perwarna keemasan dengan tulisan arsenik serta logo maskapai penerbangan. Lukisan ini bercerita tentang sekolahnya di luar negeri yang harus terputus: karena dia dibunuh dengan racun, kata pelukisnya, Saifuddin.
Sedangkan deretan terakhir masih lukisan wajah Munir dengan rambut yang tertutup untaian bunga. Bagian bawahnya terdapat lukisan batu nisan. Lukisan itu merupakan penutup dari biografi aktivis Komisi untuk Orang Hilang tersebut.
Dalam karya yang lain, My Uniform, Saifuddin melukis sosok tubuh dengan mengenakan kaos bergambar Munir dalam berbagai desain. Kaos tersebut menjadi semacam seragam bagi pejuang kemanusiaan yang menolak untuk lupa terhadap pembunuhan Munir.
Karya lain berjudul Gen Biru melukiskan dua bocah yang juga mengenakan pakaian bergambar wajah Munir. Tangannya memegang tumpukan buku. Setangkai mawar merah melayang di atas kepala bocah itu. Perupa lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo itu mencoba menggambarkan semangat perjuangan Munir telah menitis hingga ke generasi muda.
Selama ini, Saifuddin sering membuat karya seni rupa dengan tema kemanusiaan, demokrasi, hingga kebebasan berekspresi. Namun, baru kali ini dia fokus membuat tema mengenai seorang tokoh. Bagi pria berusia 44 tahun tersebut, Munir telah menjadi simbol yang mampu mewakili semua kegelisahannya.
AHMADRAFIQ
Berita lainnya:
Migrant Care Endus Kecurangan Pemilu di Malaysia
Sudrajad Optimistis Lolos Menjadi Hakim Agung
Bus Tak Layak Dilarang Angkut Pemudik