TEMPO.CO, Semarang - Untuk mengawasi anggaran di sekolah, Transparency International Indonesia (TII) dan Pattiro Semarang meluncurkan program Cek Sekolahku. Program pengawasan pendidikan di sekolah ini dilakukan orang tua siswa, siswa, dan masyarakat.
“Kami ingin meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat, siswa, orang tua, dan guru untuk berperan aktif dalam pengawasan proses-proses pendidikan, sehingga tercipta sekolah yang transparan dan akuntabel,” kata Sekretaris Jenderal TII Dadang Trisasongko dalam acara peluncuran program tersebut di Semarang, Senin, 19 Mei 2014.
Cek Sekolahku juga hadir dalam bentuk portal online yang bisa diakses di: http://www.ceksekolahku.or.id. Portal ini dilengkapi dengan kanal pengaduan masyarakat melalui pesan pendek (SMS), form online, dan surat elektronik. Dadang mengatakan program ini mengapresiasi keterbukaan informasi anggaran sekolah yang sudah dilakukan Kementerian Pendidikan dan Dinas Pendidikan di daerah.
Untuk tahap awal, Cek Sekolahku baru diterapkan di lima sekolah negeri di Kota Semarang, yakni SMAN 1 Semarang, SMAN 12, SMKN 5, SMPN 41, dan SMPN 6.
TII menyatakan anggaran pendidikan di Indonesia sangat besar. Selain rehabilitasi sekolah, pemerintah juga memberikan Bantuan Operasional Sekolah untuk mendukung program wajib belajar sembilan tahun. “Dua program ini berhasil menurunkan angka putus sekolah dan angka buta huruf,” kata Dadang.
Dalam rezim desentralisasi, anggaran pendidikan langsung dikucurkan ke sekolah dalam bentuk dana Bantuan Operasional Sekolah dan dari APBD provinsi dan kota/kabupaten. Dana tersebut dikucurkan melalui program sekolah gratis dan bebas subsidi atau sejenisnya serta. Selain itu, ada juga dana alokasi khusus dan dana infrastruktur daerah. Namun, kata Dadang, hingga kini masih marak pungutan liar yang dilakukan pihak sekolah kepada orang tua murid. Sedangkan komite sekolah sebagai bentuk peran warga sekolah dalam mengawasi proses pendidikan di sekolah tak berfungsi optimal. Untuk itu, rencana kerja, anggaran sekolah, dan laporan pertanggungjawaban harus dibuka kepada masyarakat. “Sebab, potensi penyalahgunaan anggaran di sektor pendidikan juga masih besar,” ujarnya.
Modusnya adalah mengambil dana pendidikan untuk kembali kepada elite-elite penyusun anggaran dan pejabat terkait dengan menggunakan aparatur sekolah, pejabat pendidikan setempat, serta pengusaha rekanan sebagai operator dan kolaborator.
Direktur Eksekutif Pattiro Semarang Dini Inayati mengatakan fungsi kontrol anggaran sekolah saat ini kurang efektif karena hanya bertumpu pada pengawasan internal, sedangkan pengawasan masyarakat masih sangat minim. “Untuk itu, diperlukan partisipasi masyarakat mengawasi angaran pendidikan,” kata Dini.
ROFIUDDIN
Berita Terpopuler:
Jadi Cawapres, Ini Daftar Kebijakan Kontroversi JK
Polisi Cari Petinggi Artha Graha yang Hilang
Pasar Harapkan Cawapres Jokowi dari Militer
Pelajar di Australia Khawatirkan Program Purifikasi Prabowo