TEMPO.CO, Malang - Candi Jago dan Candi Kidal peninggalan Kerajaan Singasari di Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, sekitar 22 kilometer dari pusat Kota Malang, Jawa Timur, makin terdesak permukiman. Akibatnya, pengembangan wisata sejarah dan penelitian situs-situs baru makin sulit dilakukan karena lahan makin sempit.
Rombongan wisatawan asing yang sering datang tiap akhir pekan kesusahan mencari tempat parkir. Bus besar atau kendaraan pengangkut wisatawan terpaksa diparkir agak jauh di tepi jalan, bukan di lahan khusus parkir yang lapang. “Kalau wisatawan yang tidak berombongan lebih gampang memarkirkan kendaraannya,” kata Suryadi, juru kunci Candi Jago, Jumat, 14 Maret 2014.
Menurut Suryadi, Candi Jago berukuran 24 meter x 14 meter dengan tinggi 10,5 meter. Tinggi asli sebelum mengalami kerusakan diperkirakan 17,5 meter. Ukuran lahannya bervariasi. Lebar tanah bagian depan cuma 4 meter. Lebar halaman belakang 35,5 meter. Sedangkan panjang halaman sisi utara 64 meter dan sisi selatan 68 meter.
Candi yang dulu bernama Candi Jajaghu itu adalah tempat penyimpanan abu Wisnuwardhana, Raja Singasari keempat . Halaman yang tertata rapi digunakan untuk meletakkan arca-arca besar, seperti arca Muka Kala (wajah raksasa) dan arca Amogapasha, manusia bertangan enam perwujudan Wisnuwardhana.
Arca-arca besar itu dulu di atas candi, tapi hingga kini belum dinaikkan. Halaman sempit menyulitkan perbaikan karena batu-batu yang sudah bertumpuk harus diturunkan dan harus disusun ulang. “Di sekeliling candi, ada permukiman dan sekolah. Jarak candi dengan bangunan rumah-rumah penduduk hanya sekitar 3-4 meter. Ya, mepet-mepet begitulah. Mau meluaskan lahan candi atau hanya untuk lahan parkir sudah tidak bisa,” kata Suryadi, yang juga koordinator wilayah Malang dari Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur.
Kondisi serupa terjadi pada Candi Kidal. Candi ini dibangun pada 1284. Candi yang berdimensi 10,8 meter x 8,5 meter dan tinggi 12,26 meter ini berdiri di lahan 870 meter persegi. Tembok halaman candi berbatas langsung dengan tembok rumah warga. Meski bersih dan teduh, tapi di sisi kanan dan kiri jalan masuk candi ada kandang ayam yang menebar aroma menyengat. “Mungkin gara-gara ada kandang ayam itu yang buat jumlah pengunjung ke sini lebih sedikit daripada yang ke Candi Jago. Belum lagi parkir kendaraan memang susah,” kata Siti Romlah, juru kunci Candi Kidal.
Menurut Suryadi, hampir semua situs bersejarah terdesak permukiman. Halaman Candi Badut di Desa Karangbesuki, Kecamatan Dau, Candi Singasari di Kecamatan Singasari, dan Patirtaan Watu Gede, misalnya, tidak bisa diperluas karena sangat padatnya permukiman.
Penelitian arkeologi untuk mengungkap lebih jauh data peninggalan Kerajaan Singasari di sekitar Candi Singasari pun terkendala. Lutfi Fauzi, arkeolog yang menelitinya, pernah mengatakan masih banyak sekali data yang terpendam di dalam bumi Singasari.
Bersama Tim Pusat Arkeologi Nasional, Lutfi menemukan struktur bangunan permukiman kuno di Dusun Bungkuk, Desa Pagentan, Kecamatan Singosari, pada Juli 2009. Namun penelitian tak bisa dilanjutkan karena lokasi penemuan berada di atas tanah milik warga.
Suryadi, Romlah, dan Lutfi sangat berharap pemerintah daerah dan pusat ikut membantu perluasan lahan agar keberadaan candi-candi dan situs arkeologi lainnya terjaga.
ABDI PURMONO