TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas mengeluhkan minimnya perhatian institusi kampus terhadap wacana RUU KUHP dan RUU KUHAP. Padahal, menurut dia, materinya berpotensi melemahkan posisi KPK dan sejumlah lembaga khusus negara lain yang keberadaannya mendukung reformasi penegakan hukum.
"Saat ini, meskipun agak terlambat, mereka harus bersuara," katanya, setelah berbicara dalam diskusi "Membangun Kembali Kedaulatan Publik" yang digelar Forum Jogja di Rumah Makan Emfa, Jalan Parangtritis, Bantul, Ahad, 9 Maret 2014.
Busyro berpendapat institusi kampus mengemban tugas penting untuk mencetak kader intelektual penyokong tranformasi sosial dan perubahan sistemis di Indonesia. Karena itu, mereka perlu ikut bersuara dalam isu penting yang berupaya menghambat perbaikan negara. "Selama ini jarang sekali institusi kampus bersuara," katanya.
Busyro mengatakan pemerintah memang sudah memberikan sinyal mengakomodasi permintaan KPK dan publik untuk menunda proses revisi RUU KUHP dan RUU KUHAP. Sinyalemen itu muncul dalam pertemuan antara KPK dan pemerintah saat membahas problem dalam draf kedua beelid tersebut. "Kami menunggu bentuk konkret dari sinyal itu," kata Busyro.
Karena itu, dia berpendapat peran kampus dalam menyuarakan kritik terhadap potensi pelemahan penegakan hukum untuk kejahatan luar biasa yang muncul dalam revisi RUU KUHP dan KUHAP masih penting.
Busyro mengatakan respons gerakan masyarakat sipil atas isu ini bisa membantu mendorong pemerintah agar tidak main-main lagi dalam merevisi UU KUHP dan KUHAP. "Institusi kampus, ormas-ormas keagamaan, asosiasi pengacara yang kritis jangan tidur ketika ada masalah-masalah seperti ini," kata Busyro.
Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Hifdzil Alim, memaklumi kritik Busyro terhadap kampus. Selama ini, menurut dia kalangan kampus yang banyak bersuara kritis ke RUU KUHP dan KUHAP baru lembaga selevel pusat studi ataupun akademikus. "Dinamika di bawah seperti itu banyak, tapi jarang mendapat tanggapan serius dari elite kampus," katanya.
Meskipun pembahasan RUU KUHP dan KUHAP kemungkinan kecil bisa terus berlanjut di pemerintahan SBY, Hifdzil berpendapat tekanan publik memang masih dibutuhkan. Dia berpendapat, dengan begitu, pemerintah akan menerima risiko dihujani kritik luas apabila nekat melanjutkan pembahasannya. "Pemerintahan baru juga harus memperbaiki isi drafnya," katanya.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM