TEMPO.CO, Yogyakarta - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Daerah Istimewa Yogyakarta dituding merampok uang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2012 dan 2013 berupa dana aspirasi mencapai Rp 181,5 miliar. "Anggota Dewan merampok dan tidak bermoral," kata Triyandi Mulkan, Direktur Lembaga Pembela Hukum Yogyakarta, di kantornya, Kamis, 6 Maret 2014.
Penggunaan dana aspirasi itu dilakukan melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dengan mengajukan proposal kelompok di daerah pemilihan tiap anggota Dewan.
Baca Juga:
Menurut data Lembaga Pembela Hukum Yogyakarta, tiap anggota Dewan mendapat Rp 1,5 miliar per tahun pada 2012. Setahun itu dana aspirasi sebesar Rp 82,5 miliar. Pada 2013, tiap anggota Dewan mendapat jatah Rp 1,8 miliar per tahun. Pada 2013, dana aspirasi sebesar Rp 99 miliar.
Menurut Triyandi, temuan itu sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 5 Februari 2014. “Kasus ini perlu penanganan serius karena melibatkan para pejabat di Daerah Istimewa Yogyakarta,” katanya.
Modus perampokan uang rakyat itu, anggota DPRD DIY lewat masing-masing fraksi memaksakan anggaran penjaringan aspirasi. Setelah anggaran itu mereka setujui oleh DPRD dan masuk ke anggaran SKPD, anggota Dewan mengajukan proposal. Penduduk yang menjadi sasaran dana aspirasi malah tak tahu nama mereka masuk dalam proposal. Ada juga kelompok yang tercantum dalam proposal, tapi uang yang mereka terima tidak utuh. "Banyak kelompok yang akan menerima dana, tetapi fiktif," katanya.
Modus lain, jika dana itu sudah cair, kata Triyandi, yang seharusnya dicairkan di Bank BPD suatu cabang, malah dicairkan di cabang lain. Disinyalir ada anggota Dewan yang memanfaatkan anggota lain yang tidak mencairkan dana aspirasi itu.
Dari hasil temuan tim investigasi Lembaga Pembela Hukum Yogyakarta pada 2012, ada penyimpangan penggunaan dana aspirasi itu sebesar Rp 1,2 miliar. Rinciannya, ada 21 pos yang diselewengkan. Antara lain ada organisasi sosial di Cangkringan, Sleman, yang diduga fiktif dan menerima Rp 158 juta; komunitas fiktif di Menoreh, Kulon Progo, Rp 2 juta; dan masyarakat peduli bencana Kulon Progo yang diduga fiktif Rp 30 juta. Juga program rescue Waduk Sermo Rp 2 juta, dan anggaran Rp 70 juta untuk studio musik Antero Kota Yogyakarta, tapi hanya diberi Rp 10 juta. Bahkan ada warung yang hanya menerima dana Rp 2,5 juta. "Kalau warung pasti tidak hanya satu karena banyak warung yang dapat dana itu," kata Triyandi.
Tudingan Tiryandi ini belum bisa dikonfirmasikan ke DPRD DIY dan Pemda DIY.
MUH SYAIFULLAH