TEMPO.CO, Banyuwangi - Hari-hari Sutiah, 50 tahun, diliputi kegelisahan memikirkan nasib anak bungsunya, Sihatul Alfiah, yang sakit di Taiwan. Dia tidak tahu bagaimana menolong anaknya yang berjarak ribuan kilometer itu. "Saya bingung harus berbuat apa," kata Sutiah, dengan air mata yang hampir jatuh, Jumat, 24 Januari 2014.
Sihatul, 24 tahun, warga Desa Plampangrejo, Kecamatan Cluring, Banyuwangi, Jawa Timur, bekerja sebagai buruh di peternakan sapi perah di Tainan City, Taiwan. Sejak 22 September 2013 lalu ibu satu anak itu terbaring koma karena disiksa majikannya.
Sihatul pergi ke Taiwan melalui PT Sinergi Bina Karya di Malang, Jawa Timur. Dia memilih Taiwan karena kakak kandungnya, Siti Emilatun, 34 tahun, sudah dua tahun bekerja di sana. Sebelum ke Taiwan, Sihatul pernah bekerja di Arab Saudi.
Pada Februari 2012, Sihatul menuju tempat penampungan TKI di Malang. Karena belum ada majikan yang tertarik memakai jasanya, Sihatul terpaksa menunggu. Bosan menunggu, Sihatul menyetujui tawaran bekerja di peternakan sapi perah meskipun dengan membayar Rp 3 juta. Kemudian Sihatul diberangkatkan ke Taiwan pada 27 Mei 2012 melalui Bandara Juanda, Surabaya.
Namun, bayangan bekerja di tempat enak pupus. Sebab, Sihatul harus mengurus 300 ekor sapi perah seorang diri, mulai dari memberi pakan, membersihkan kandang dan memerah susu. Dia harus memulai pekerjaan berat itu sejak pukul 3 Subuh hingga pukul 10 malam. "Hanya istirahat sebentar di siang hari," kata Sutiah bercerita.
Derita Sihatul tak berhenti di situ. Dia harus rela tidur di kamar sempit berdekatan dengan kandang sapi. Bila pekerjaannya lamban, majikannya akan langsung menendang atau menampar. Beberapa kali Sihatul berkeluh kesah kepada ibu dan suaminya, Suhandik, 28 tahun, yang bekerja sebagai buruh perkebunan sayur di Malaysia.
Untuk pekerjaan yang berat itu, Sihatul mendapat upah 15 ribu dolar Taiwan. Tak ada hari libur bagi Sihatul, apalagi pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan luka lebam akibat tendangan majikannya. Bahkan, Sihatul pernah pingsan karena kelelahan.
Agen PT Sinergi di Taiwan pernah menjenguk setelah Sihatul pingsan. Sihatul mengungkapkan keluhannya dan ingin berganti majikan. Namun, setelah agen perusahaannya pulang, Sihatul malah mendapatkan siksaan lagi.
Sutiah masih ingat, pada Jumat 22 September 2013, sekitar pukul 19.00, Sihatul meneleponnya. Seperti biasa dia bercerita tentang pekerjaannya yang tak nyaman. Kemudian dia mengobrol dengan anak semata wayangnya, Achmad Nur Izza Ficky Firmansyah, 6 tahun. "Dia bercanda lama dengan anaknya," kata Sutiah mengenang.
Usai menelepon anaknya, Sihatul menelepon kakaknya yang juga berada di Taiwan. Dia curhat tentang berbagai hal, termasuk keinginannya pulang ke Banyuwangi. Lama bercakap-cakap, Sihatul berjanji ke kakaknya akan menelepon kembali di atas jam 10 malam waktu setempat karena akan kembali bekerja di kandang. Ditunggu beberapa jam, telepon dari sang adik tak kunjung berdering. Siti, sang kakak, mencoba menelepon balik. Namun ternyata telepon seluler Sihatul mati. Siti mulai resah.
Firasat Siti terbukti. Sekitar pukul 23.00, dia menerima kabar jika adiknya dilarikan ke rumah sakit karena tak sadarkan diri. Awalnya dokter memvonis Sihatul terkena gagal jantung. Vonis dokter dirasa janggal karena seluruh wajah Sihatul bengkak.
Empat bulan Sihatul dirawat di rumah sakit, kondisinya tak kunjung membaik. Dia juga belum sadarkan diri. Bingung dengan kondisi istrinya, Suhandi memutuskan berhenti kerja di Malaysia dan pulang ke Banyuwangi pada akhir Desember lalu.
Dia lalu melapor ke LSM Migrant Care dan BNP2TKI di Jakarta. Namun, dia kecewa karena tindak lanjut laporan tersebut sangat lambat. "Saya tidak tahu harus mengadu kemana lagi," kata Suhandi mengeluh.
Suhandi bersama LSM Migrant Care berencana akan ke Jakarta lagi pada Senin pekan depan untuk mengadukan nasib istrinya ke DPR RI dan Kementerian Tenaga Kerja. Dia berharap Sihatul dipulangkan ke Banyuwangi. "Lebih baik dirawat di Banyuwangi saja," kata Suhandi.
Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Banyuwangi, Wawan Kuswanto, mengatakan Sihatul saat ini masih berada di rumah sakit. Majikannya, Huang Deng Jin, masih membiayai perawatan dan pengobatan. Suhandi sendiri saat ini sedang mengurus dokumen berangkat ke Taiwan yang difasilitasi oleh Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS). "Pihak majikan, agency, dan PPTKIS masih kooperatif," katanya.
IKA NINGTYAS