TEMPO.CO, Banyuwangi - Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Husnul Khotimah, mengatakan peredaran merkuri di daerahnya makin mengkhawatirkan. Bahan kimia tersebut banyak digunakan penambang belerang rakyat untuk memisahkan bijih emas. "Ada pasar gelap perdagangan merkuri," kata Husnul kepada wartawan, Selasa, 21 Januari 2014.
Menurut dia, tingkat mengkhawatirkan itu diketahui setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Universitas Indonesia meneliti kondisi kesehatan warga dan kualitas lingkungan di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, pada akhir Oktober 2013 lalu. Kementerian meneliti 50 orang pengolah tambang emas rakyat dengan mengambil sampel rambut, darah, dan kuku jari tangan serta kaki. Selain meneliti penambang rakyat, Kementerian juga memeriksa limbah padat, air, dan udara.
Di Desa Sumberagung terdapat tiga tempat pengolahan bijih emas. Jumlah penambang emas rakyat di kecamatan tersebut sekitar 7.000 orang. Mereka menggunakan merkuri untuk pemisahan bijih emasnya. Menurut Husnul, meski Kementerian belum merilis hasil penelitian itu, peredaran gelap merkuri berpotensi besar mencemari tubuh manusia dan lingkungan. Sebab, penambang tidak memakai sarung tangan dan masker saat memisahkan bijih emas. Limbah yang dihasilkan langsung dibuang di halaman rumah atau sungai.
Padahal, bila tangan mereka terluka, merkuri bisa masuk ke aliran darah. Merkuri juga cepat menguap sehingga bisa terserap ke paru-paru. Limbah yang langsung dibuang bisa masuk ke bawah tanah dan mencemari sumur warga.
Husnul menduga ada dua jalur peredaran gelap merkuri itu. Pertama, dipasok oleh toko-toko emas yang ada di kecamatan tersebut. Kedua, dijual oleh pemodal-pemodal yang mengerahkan penambang rakyat. Biasanya, selain memberi upah untuk penambang, para pemodal itu juga menyediakan bahan baku seperti merkuri. "Tapi hasil selengkapnya kami menunggu hasil penelitian Kementerian," kata dia. (Baca pula: Menhut Restui Tambang Emas Terbuka di Banyuwangi).
Baca Juga:
Pada Juni 2013 lalu, Tempo pernah mewawancarai sejumlah penambang dan pemilik tempat pengolahan bijih emas rakyat. Rohim, seorang penambang, mengatakan pasokan merkuri, atau yang mereka kenal dengan air raksa, biasanya didapatkan dari penambang asal Bogor, Jawa Barat. Pada 2009, ada 100 lebih penambang asal Bogor yang eksodus ke Banyuwangi. Mereka kerap menjual merkuri dan berbagai peralatan penggelondongan emas. Satu kilogram merkuri biasanya dijual Rp 1,6 juta. "Mereka cari emas, sekalian berdagang," kata dia.
Salah seorang pemilik pengolahan bijih emas, Suparjiono, 50 tahun, bercerita, dalam sebulan ia memakai 5 kilogram merkuri untuk 20 kali proses pemisahan bijih emas. Satu mesin biasanya menghaluskan 3 kilogram material, 20 liter air, dan 0,3 kilogram merkuri. Dengan demikian, limbah yang dihasilkan untuk 10 mesin mencapai sekitar 200 liter sekali proses. Limbah cair berwarna abu-abu langsung dibuang ke belakang rumahnya, berupa sebuah kebun seluas setengah hektare.
Suparjiono membeli merkuri dengan harga Rp 1.750.000 per kilogram lewat beberapa pemasok di wilayahnya. Dia berdalih bahwa bahan kimia ini aman bagi lingkungan. "Sudah lima tahun ada tambang rakyat, tidak ada yang tercemar dan sakit," katanya.
IKA NINGTYAS
Berita Terpopuler:
Ahok: Gimana Enggak Banjir Kalau Tanggul Dibolongi?
7 Ekspresi Sewot Ani SBY di Instagram
Jokowi Rembuk Banjir di Katulampa, Ini Hasilnya
Seberapa Kaya Sutan Bhatoegana?
Geram Ahok Soal Molornya APBD DKI