TEMPO.CO, Jakarta -- Rencana Dewan Pendidikan dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pamekasan menggelar tes keperawanan sebagai syarat kelulusan siswi SMA ditentang oleh warganya sendiri.
"Lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya," kata Ahmat Fikri, warga Kecamatan Tlanakan, ketika dihubungi Tempo, Rabu, 21 Agustus 2013.
Keperawanan, kata Fikri, merupakan hal yang sensitif yang bisa memicu perdebatan berkepanjangan di antara khalayak ramai. Tolok ukur keperawanan juga tidak baku sehingga bila dipaksakan untuk diperiksa justru bisa merusak masa depan siswi. "Selain itu, hasil tes pun bisa menjadi aib, tidak hanya bagi siswi, tapi juga bagi keluarganya," kata Fikri.
Karena itu, dia menyarankan agar pengelola pendidikan di Madura mempertimbangkan kembali rencana tes keperawanan ini. "Jangan hanya berpikir soal keperawanan, pikirkan juga masa depan seseorang yang akan menjadi suram," kata dia.
Rencana tes keperawanan di Pamekasan digagas oleh Sekretaris MUI Pamekasan, Zainal Alim. Menurut dia, tes ini bisa membuat sekolah mengetahui moralitas siswa lebih awal.
Belakangan, rencana ini disokong oleh Sekretaris Dewan Pendidikan Pamekasan, Ahmat Zaini. Dia menilai tes keperawanan guna menentukan kelulusan siswa bisa saja diterapkan. Meski begitu, dia menilai tes keperawanan lebih sulit dilaksanakan ketimbang tes narkoba.
MUSTOFA BISRI
Berita Terpopuler:
5 Teknologi yang Mengancam Manusia
Lima Tokoh Ini Politikus Idola Anak Muda
Ini Kronologi Aksi Gadis Pemotong 'Burung'
Mantan Napi Ungkap Kengerian Penjara Korea Utara
Beragam Penyebab Rupiah Terjun Bebas