TEMPO.CO, Surakarta - Praktek pemasungan penderita sakit jiwa diharapkan tak akan terjadi lagi dengan adanya Undang-Undang Kesehatan Jiwa, yang saat ini masih berupa rancangan. “Kami berharap, setelah menjadi UU, tidak ada lagi pemasungan kepada mereka yang mengalami gangguan jiwa. Akan kami siapkan sanksi bagi yang masih nekat memasung,” kata anggota Komisi IX DPR, Muchtar Amma, di sela kunjungan ke Griya PMI Peduli di Surakarta, Jawa Tengah, Jumat, 22 Februari 2013.
Selain soal larangan pemasungan, RUU Kesehatan Jiwa akan mengamanatkan kepada setiap provinsi untuk memiliki rumah sakit jiwa. Saat ini masih ada provinsi yang belum memiliki rumah sakit jiwa. “Kalau perlu di tiap daerah ada (rumah sakit jiwa),” kata politikus Partai Hanura itu.
Wakil Ketua Komisi IX DPR Nova Riyanti Yusuf mengatakan, ada satu bab dalam RUU yang khusus membahas peran serta masyarakat dalam penanganan penderita gangguan jiwa. Hal ini karena minimnya jumlah dokter spesialis kejiwaan dan psikiater di Indonesia.
“Dengan jumlah penduduk 230 juta jiwa, hanya ada 616 dokter jiwa dan 400 psikiater. Ini tidak imbang,” ujarnya. Karena itu, masyarakat diharapkan turut serta dalam penanganan.
Seperti yang sudah dilakukan Palang Merah Indonesia (PMI) Solo, yang mendirikan Griya PMI Peduli untuk menampung dan merawat penderita gangguan jiwa. “Saya berharap PMI di daerah lain atau organisasi lainnya dapat meniru langkah PMI Solo,” katanya.
Ketua PMI Solo, Soesanto Tjokrosoekarno, mengatakan, Griya PMI Peduli beroperasi sejak setahun lalu dengan daya tampung 125 pasien. “Saat ini ada 106 pasien yang kami tangani,” ujarnya. Selain pengobatan medis, ada juga penanganan alternatif atau spiritual. Misalnya, untuk mereka yang beragama Islam, akan dilakukan rukyah oleh kiai atau ustad.
Dia mengatakan, selama ini sudah ada 55 pasien yang sudah sembuh dan kembali ke keluarganya. “Kami mendapat bantuan dari masyarakat untuk biaya operasional. Tiap orang butuh biaya hidup Rp 500 ribu per bulan,” ucapnya.
UKKY PRIMARTANTYO