TEMPO.CO, Jakarta - Inspektur Jenderal Kementerian Agama, Muhammad Jasin, menyatakan pihaknya sengaja menolak pembayaran barang dan jasa pengadaan Al-Quran untuk anggaran 2012 karena menunggu investigasi Badan Pemeriksa Keuangan dan hasil penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi.
“Kalau kami bayar, bisa diciduk KPK lagi,” kata Jasin kepada Tempo, Jumat, 11 Januari 2013. Dia menambahkan, jika indikasi penggelembungan anggaran pada 2011 terbukti, hal yang sama juga berlaku pada indikasi mark-up tahun 2012. Sebab, perusahaan penyedia barang dan jasanya sama.
Awalnya, kata Jasin, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Abdul Djamil, bingung ketika perusahaan penyedia barang dan jasa terus menagih. Tapi, Jasin menasihati Djamil untuk menunda pembayaran. “Jangan dibayar dulu, tunggu proses hukum yang ada di KPK,” katanya.
Sebab, Jasin mendengar ada indikasi pemahalan atau mark-up hingga Rp 21 miliar lebih pada pengadaan barang dan jasa Al-Quran tahun 2012. Selain meminta saran pada Jasin, Djamil juga meminta saran Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa. “Sarannya juga sama seperti saya. Jangan dibayar dulu,” katanya.
Selang beberapa waktu setelah Djamil meminta saran, ternyata dugaan Jasin benar. BPK baru saja menyatakan bahwa ada indikasi pemahalan anggaran pengadaan senilai Rp 21 miliar lebih dalam proyek pengadaan Al-Quran untuk anggaran 2012. Pemahalan anggaran juga terjadi pada pengadaaan tahun 2011.
Jasin mengaku cukup lega lantaran Djamil tak jadi membayar pengadaan tersebut. “Lebih baik dituntut oleh penyedia barang dan jasa daripada diciduk KPK. Ini semua demi kepentingan negara,” katanya.
Badan Pemeriksa Keuangan menemukan kerugian negara dari proyek pengadaan Al-Quran mencapai Rp 6,9 miliar pada 2011. “Bila pengadaan tahun ini dibayar, karena pada saat kami periksa belum dibayar, potensi kerugiannya Rp 21 miliar," kata anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Sapto Amal Damandari.
Pemeriksaan BPK atas proyek pengadaan Al-Quran dimulai sejak 13 Juni 2012. BPK memutuskan mengaudit anggaran proyek pengadaan Al-Quran lantaran menemukan ketidakwajaran. Pada 2009-2010 jumlahnya hanya sekitar Rp 5 miliar. Tapi tahun berikutnya angkanya membengkak menjadi Rp 25 miliar. Tahun ini anggaran menjadi Rp 55 miliar.
BPK sudah menyerahkan hasil pemeriksaan ke Kementerian Agama pada 30 November 2012. Lantas, karena ada indikasi unsur pidana pada proses pengadaannya, BPK menyerahkan laporan pemeriksaan itu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Hasil pemeriksaan diserahkan oleh Ketua BPK Hadi Poernomo ke KPK pada 11 Desember 2012.
Dalam kasus pengadaan Al-Quran anggaran 2011, KPK menetapkan tiga tersangka, yakni politikus Partai Golkar Zulkarnaen Djabar dan anaknya, Dendy Prasetya, serta pemilik PT Adhi Aksara Abadi dan PT Sinergi Alam Indonesia. Satu tersangka lainnya adalah Ahmad Jauhari, bekas Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam.
BPK enggan membeberkan modus penyelewengan proyek pengadaan Al-Quran itu. Auditor BPK, Heru Kresna Reza, hanya menjelaskan sumber kerugian negara dalam proyek itu sudah jelas dan hampir sama antara 2011 dan 2012. Pihaknya belum bisa membuka kepada publik karena belum diserahkan ke DPR. "Modusnya tak aneh-aneh kok, konvensional saja," katanya.
FEBRIANA FIRDAUS | MARTHA THERTINA