TEMPO.CO, Jakarta - Sekitar 31 tahun lalu, perempuan sedunia memperingati 25 November sebagai Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan. (Baca: Hari Anti-Kekerasan Perempuan Berawal dari Dominika). Namun, hingga kini, kekerasan pada perempuan terus terjadi.
Menurut Wakil Ketua Komnas Perempuan, Masruchah, perendahan terhadap perempuan begitu kuat karena berakar pada banyak keyakinan. Misalnya, keyakinan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. “Akibat pemahaman ini, mulailah berkembang budaya laki-laki pantas mengatur kehidupan perempuan,” katanya di Koran Tempo, Ahad, 24 November 2012.
Di agama Yahudi, posisi perempuan juga tak kalah menyedihkan. Perempuan dipandang tak berhak atas harta warisan. Jika umurnya sudah dewasa, sang ayah berhak menjualnya. Ketika menikah, harta perempuan menjadi milik suami seutuhnya.
Dalam budaya, perempuan juga didiskreditkan. Masyarakat Jawa, misalnya. Pada Serat Centhini dijelaskan ajaran Nyai Artati kepada anaknya, Niken Rancangkapti. Perempuan, jika menikah, wajib berpegang pada simbol lima jari.
Jari jempol: harus pol pengabdian kepada suami. Jari tengah: mesti mengunggulkan suami dalam kondisi apa pun. Jari telunjuk bermakna wajib patuh kepada apa yang ditunjukkan oleh suaminya. Jari kelingking: harus pandai mengutak-atik pemberian nafkah suami. Jari manis: mesti selalu bersikap manis kepada suaminya.
“Ini masih berlaku dalam tradisi Jawa yang sangat mensubordinasikan perempuan,” ujarnya.
Untuk melindungi wanita, pada 1993, Perserikatan Bangsa-Bangsa membuat Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. PBB menyatakan kekerasan pada perempuan merupakan manifestasi dari hubungan kekuasaan historis yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan.
Ketidakseimbangan itu menyebabkan dominasi dan diskriminasi pria atas perempuan. Tujuannya, mencegah perempuan maju. Dalam deklarasi disebutkan kekerasan terhadap perempuan adalah mekanisme sosial yang memaksa perempuan berada di bawah laki-laki.
Pada 1870, pengadilan Amerika Serikat sudah berupaya menghentikan kekerasan terhadap perempuan. Yakni dengan berhenti mengakui prinsip hukum yang menyatakan suami berhak menghukum istri secara fisik. Inggris pun mengikuti penghapusan kekerasan ini pada 1891.
Di Indonesia, jumlah perbuatan keras terhadap wanita mencapai ratusan ribu setiap tahun. Dalam periode 2011 saja, perkara kekerasan terhadap perempuan di Indonesia mencapai angka 119.107.
"Jumlah ini meningkat dari 2010, sekitar 105.103 kasus," kata Masruchah. (Baca juga: Kasus Kekerasan Perempuan Indonesia Capai 119 Ribu).
KORAN TEMPO | CORNILA DESYANA
Berita lain:
Buruh Perempuan Kerap Mengalami Pelecehan
Cari Suami Cara Baru, Menari Setengah Telanjang di Jalan
Pasien Perempuan RSUD Gunung Jati Dapatkan Bunga di Hari Ibu
Peringatan Hari Perempuan Internasional di NTB Meriah