TEMPO.CO, Yogyakarta - Wakil Presiden Boediono menyesalkan adanya distribusi beras miskin di pedesaan yang banyak dicatut. “Seharusnya beras yang diterima per rumah tangga miskin itu adalah 15 kilogram. Tapi dari hasil survei, masyarakat miskin itu hanya menerima rata-rata lima kilogram,” kata Boediono saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Regional Jawa-Bali di Yogyakarta, Selasa, 13 November 2012.
Boediono menduga dari kecenderungan yang ada, jatah beras itu sampai di tingkat pemerintah terbawah atau pedesaan, kemudian mengalami pemotongan karean berlaku sistem bagi rata yang diterapkan kepala desa atau dusun. “Tampaknya ada kecenderunagan sistem bagi rata. Kalau seperti ini tentu merugikan kelompok masyarakat yang benar-benar miskin,” katanya.
Boediono menambahkan, persoalan ini juga dipicu akibat tidak adanya transparansi pendataan yang disosialisasikan hingga level masyarakat bawah. Misalnya, di pedesaan, tidak setiap kepala desa memasang poster di wilayahnya soal jatah siapa saja yang berhak menerima raskin, selain sosialisasi ke rumah-rumah warga.
“Perbandingannya, bagi desa yang sudah memasang poster ini di kantor kepala desanya, setelah dilakukan evaluasi jatah jumlah beras yang diterima rumah tangga miskin meningkat jadi 9-12 kilogram,” katanya.
Dalam acara yang dihadiri gubernur, wakil gubernur, kepala dinas se-Jawa dan Bali sekitar 200 orang itu, Boediono pun mendesak para kepala daerah mendukung langkah pembagian raskin yang tepat sasaran itu. Sebab, rumah tangga miskin selama ini pengeluaran terbesarnya hanyalah untuk membeli beras. “Kepala desa juga sebagai ujung tombak mendukung langkah ini,” kata dia.
PRIBADI WICAKSONO