TEMPO.CO, Jakarta - Pembantaian puluhan ekor hiu di kawasan perairan Raja Ampat, Papua Barat, bukan merupakan kejadian baru. Direktur Eksekutif Conservation International Indonesia, Ketut Sarjana Putra, mengatakan Raja Ampat memang merupakan daerah incaran para pemburu hiu.
"Mereka tertarik datang berburu ke Raja Ampat, yang pada tahun 1990-an dianggap sebagai salah satu daerah terakhir di Indonesia yang memiliki populasi hiu yang sehat," ujar Ketut dalam siaran persnya, Senin 7 Mei 2012.
Ia menambahkan, Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah hiu terbesar di dunia. Di masa lalu, perburuan sirip hiu lazim dilakukan di Raja Ampat, terutama oleh nelayan yang berasal dari luar kawasan konservasi yang masih perawan tersebut. "Kini populasi hiu terus menurun akibat pengambilan ikan secara besar-besaran," kata dia.
Ketut mengatakan, perburuan hiu khususnya di kawasan Raja Ampat harus segera dicegah karena predator ini memainkan peran penting dalam dunia perikanan dan kesehatan ekosistem laut. Hiu yang hidup di alam aslinya dapat menghasilkan pendapatan pariwisata yang besar.
Mengutip hasil penelitian Australian Institute of Marine Science pada tahun 2010 di Palau, seekor hiu karang diperkirakan memiliki nilai ekonomis tahunan sebesar Rp 1,6 miliar dan nilai seumur hidup sebesar Rp 17,5 miliar untuk industri pariwisata.
"Kawasan Raja Ampat sendiri memiliki potensi pariwisata hiu sebesar Rp 165 miliar per tahun dan menyumbang pendapatan daerah sebesar Rp 2,5 miliar per tahun dari sektor pariwisata," ujar Ketut.
Puluhan ekor hiu ditemukan mati mengenaskan di kawasan konservasi perairan Raja Ampat, Papua Barat. Tim patroli gabungan pada Senin pekan lalu menyita barang bukti berupa puluhan sirip dan bangkai hiu whitetip yang diperkirakan bernilai Rp 1,5 miliar.
Sebanyak 33 nelayan yang membantai hiu-hiu tersebut sempat ditangkap oleh tim patroli gabungan. Namun, sayangnya para nelayan yang kerap melakukan penangkapan ikan secara ilegal di wilayah konservasi perairan Raja Ampat itu melarikan diri.
MAHARDIKA SATRIA HADI