TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran (damkar), Hari Sabarno, boleh sedikit lega. Putusan yang rencananya dibacakan hari ini, 29 Desember 2011, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dibatalkan. Majelis hakim belum selesai membahas dan merumuskan putusan untuk bekas Menteri Dalam Negeri tersebut.
"Kemarin-kemarin seharusnya kami rapat. Tapi ada dari kami yang cuti dan berhalangan hadir. Jadi, dengan demikian, sidang hari ini kami nyatakan selesai," kata ketua majelis hakim, Suhartoyo, dalam sidang. Sidang diputuskan Suhartoyo ditunda hingga pekan depan, 5 Januari 2012 pukul 09.00 WIB.
Hari, yang sudah menunggu di ruang Pengadilan Tipikor sejak 09.00 pagi, tampak tenang mendengar keputusan hakim menunda pembacaan vonis. Mengenakan kemeja batik lengan panjang, jenderal purnawirawan itu malah terus menebar senyum seusai sidang.
Ia mengklaim sebenarnya hari ini sudah siap mendengar putusan hakim untuknya. "Sekarang saja saya siap kok, apalagi minggu depan," kata dia. "Enggak ada urusan kecewa. Saya biasa-biasa saja."
Masalah vonis, kata Hari, ia pasrahkan semuanya pada Tuhan. Ia mengaku berharap bisa bebas, namun tetap menghormati keputusan hakim. "Kalau Anda jadi terdakwa, bagaimana pikirannya? Tapi itu urusan hakim. Saya enggak ada urusannya dengan itu," katanya.
Dalam sidang 9 Desember lalu, Hari dituntut hukuman lima tahun bui. Ia dinilai tim jaksa penuntut umum pimpinan I Ketut Sumedana terbukti melakukan tindak korupsi bersama-sama dengan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Oentarto Sindung Mawardi dan bos PT Istana Sarana Raya, almarhum Hengky Samuel Daud.
Jaksa menyatakan Hari terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dakwaan kesatu sekunder, yang diatur Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab UU Hukum Pidana. Selain dituntut hukuman penjara, ia juga dituntut hukuman denda Rp 250 juta subsider enam bulan kurungan.
Hal yang memberatkan tuntutan, perbuatan Hari tidak mendukung upaya pemerintah dalam memberantas korupsi, keterangannya dalam sidang berbelit-belit, serta tidak mengakui maupun menyesali perbuatannya. Sedangkan hal yang meringankan, Hari belum pernah dihukum sebelumnya, punya tanggungan keluarga, pernah mendapat penghargaan dari pemerintah, dalam kondisi sakit, berusia lanjut, serta telah mengembalikan kerugian negara.
Perbuatan Hari bekerja sama dengan Hengky dinilai jaksa sebagai wujud kolaborasi antara pengusaha dan penguasa yang menguntungkan satu sama lain, namun merugikan keuangan negara. Dalam amar tuntutan jaksa, Hari disebut menangguk keuntungan Rp 1,29 miliar, sedangkan Oentarto mendapat Rp 200 juta. Adapun kerugian negara dihitung sebesar Rp 97 miliar. Nilai kerugian negara didapat dari keuntungan yang masuk ke kocek pribadi Hengky.
Hari disebut pernah bertemu empat mata dengan Hengky di Plaza Senayan, Jakarta Selatan, pada 2002. Dalam pertemuan perdana tersebut, Hengky mengaku sebagai pengusaha yang pernah membantu proyek Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan, dan Badan Intelijen Negara. Tak lama setelah itu, keduanya kembali mengadakan pertemuan, namun kali ini bertempat di Kemendagri.
Di Kemendagri, Hengky dikenalkan Hari kepada Oentarto sebagai kawan dekatnya yang berprofesi sebagai pengusaha. Hari kemudian menyampaikan kepada Oentarto bahwa Hengky akan menemui Oentarto di kemudian hari. Tak lama setelahnya, Hari memerintahkan Oentarto mengirim surat edaran berbentuk radiogram ke kepala daerah. Radiogram itu berisi instruksi agar daerah membeli mobil damkar yang spesifikasinya hanya dimiliki perusahaan Hengky.
Hari juga disebut melakukan korupsi karena mengkondisikan perusahaan Hengky tak perlu membayar bea masuk delapan mobil damkar pada awal 2004. Akibatnya, perusahaan Hengky yang lain, PT Satal Nusantara, diuntungkan Rp 10 miliar.
ISMA SAVITRI