TEMPO.CO, Jakarta- Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane menilai tindakan polisi menembaki masyarakat dalam konflik perkebunan dan pertambangan salah besar. Menurutnya, sebagai aparat pelindung masyarakat polisi seharusnya menangkap para pengusaha terlebih dahulu karena melakukan perusakan lingkungan dan pelanggaran perizinan.
"Polisi seharusnya lebih dulu menangkapi para pejabat dan pengusaha, bukan menembaki rakyat. Sebab para pengusaha tersebut sudah melakukan perusakan lingkungan hidup sumber hidup rakyat, akibat izin yang dikeluarkan pejabat pemerintah pusat dan daerah," ujarnya melalui siaran pers yang diterima Tempo, Ahad 25 Desember 2011.
Kemarin bentrokan antara polisi dan masyarakat kembali terjadi di Bima Nusa Tenggara Barat. Kali ini polisi menembaki dua orang aktivis mahasiswa yang memprotes aktivitas pertambangan di sana hingga tewas. Aksi brutal aparat kepolisian ini juga menyebabkan beberapa aktivis mahasiswa terluka.
Dua pekan lalu masyarakat juga digemparkan dengan aduan masyarakat Lampung ke DPR RI. Mereka mengadukan tindak pembantaian terhadap sekitar 30 orang di wilayah Kabupaten Mesuji, Lampung.
Neta mengatakan tak sepatutnya aparat kepolisian melakukan tindakan brutal kepada masyarakat. Ia menilai polisi seharusnya bersikap sebagai mediator dalam konflik antara masyarakat dan pengusaha. Bukan berada di belakang perusahaan untuk melawan masyarakat. "Yang terjadi justru rakyat diberondong dengan peluru saat memperjuangkan haknya. Polisi ogah menjalankan fungsinya sebagai mediator yang membela kepentingan rakyat," ujarnya. Sikap inilah yang membuat rakyat menuding bahwa polisi telah diperalat menjadi centeng pengusaha.
Ia menilai polisi seharusnya mampu melihat akar permasalahan konflik dengan jernih. Berdasarkan pengamatannya, konflik ini sering terjadi lantaran masyarakat melawan perusakan lingkungan dan pencaplokan lahan yang dilakukan oleh perusahaan. Karena itu ia meminta polisi terlebih dahulu menyelesaikan akar permasalahan ini dengan menangkap pelaku perusakan lingkungan dan pencaplokan lahan yang dilakukan perusahaan.
Ia juga menuding pemerintah, baik pusat maupun daerah, sebagai sumber masalah konflik yang terjadi selama ini. Menurutnya, pemberian izin lahan secara serampangan yang dilakukan pemerintah telah membuat pemerintah menjadi antek bagi pengusaha. "Uang sudah membuat para pejabat seperti agen-agen asing di negerinya sendiri. Akibatnya mereka tidak peduli dengan keluhan rakyat akan kerusakan lingkungan hidup yang mengganggu ekosistem dan sumber hidup rakyat," ujarnya.
FEBRIYAN