TEMPO Interaktif, Denpasar - Puluhan tokoh Bali yang terdiri dari pendeta, kalangan intelektual, serta tokoh masyarakat adat Bali, Jumat, 23 Desember 2011, mendatangi gedung DPRD Bali di kawasan Renon Denpasar.
Mereka bermaksud menggagalkan pengesahan revisi Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah Bali yang mengabaikan bhisama (fatwa) Parisadha Hindu Dharma Indonesia.
Rombongan yang dipimpin Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali I Gusti Ngurah Sudiana ini diterima Ketua DPRD Bali Anak Agung Ngurah Oka Ratmadi bersama Ketua Pansus Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bali Wayan Disel Astawa. “Kami ingin mempertanyakan kesepakatan antara pemerintah provinsi dan kabupaten di Bali yang mengubah posisi bhisama,” kata Sudiana.
Kesepakatan yang dimaksud dibuat pada 16 Desember lalu. Ditandatangani Kepala Badan Perencanaan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Bali dan Bappeda Kabupaten dan Kota se-Bali, kecuali Kabupaten Jembrana. Ratmadi sebagai Ketua DPRD Bali dan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Jhohermansyah Djohan juga ikut memberikan persetujuan.
Dalam kesepakatan itu, disebutkan Pasal 50 ayat 2 Perda RTRW Bali yang mengatur Kawasan Suci tetap mengacu pada bhisama PHDI tahun 1994. Namun, pada ayat 3, ditambahkan klausul bahwa pelaksanaan bhisama harus mengacu pada Catur Dresta (aturan adat) setempat yang diatur oleh pemerintah kabupaten maupun kota.
Ketentuan tersebut dinilai bertentangan dengan bhisama PHDI yang secara detail telah mengatur tentang radius kawasan suci masing-masing pura di Bali berdasarkan statusnya. Untuk Pura Sad Kahyangan, radius kesuciannya adalah lima kilometer dan Pura Dang Kahyangan dua kilometer.
Menurut Disel Astawa, ketentuan itu untuk mengakomodasi kepentingan tiap kabupaten yang menolak penerapan bhisama. “Ini agar Perda bisa dijalankan dan semua kepentingan bisa terakomodasi,” ujarnya.
Penerapan Catur Dresta juga untuk menghargai kearifan lokal di masing-masing daerah di Bali karena Perda Provinsi bersifat arahan belaka.
Namun, menurut Sudiana, aturan itu akan mengacaukan tatanan adat di Bali karena bhisama yang ditetapkan PHDI sebagai lembaga tertinggi agama Hindu dikalahkan oleh kepentingan adat setempat.
Menurut Sudiana, dirumuskannya bhisama pada 1994 justru menyatukan Dresta yang begitu beragam. “Ini benar-benar akan merusak tatanan masyarakat Bali,” ujarnya.
Sementara itu, Made Suryawan dari LSM Paras Paros menegaskan bahwa revisi Perda tidak perlu dilakukan. “Bhisama PHDI dibuat untuk menjaga masa depan Bali yang akan kita wariskan pada anak-cucu kita nanti,” ucapnya. Suryawan mendesak DPRD Bali untuk melihat kenyataan bahwa kondisi Bali sudah makin rusak dari segi daya dukung lingkungan. “Mari kita cari solusinya dan jangan menambah masalah baru,” kata pengusaha pariwisata itu.
ROFIQI HASAN