TEMPO Interaktif, Heemskerk - Setelah sukses memenangkan gugatan korban Rawagede, Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) membidik pembantaian Westerling sebagai langkah berikutnya. Namun, persiapan mereka untuk gugatan tersebut tidaklah mudah.
Pengurus KUKB, Yvonne Rieger-Rompas, yang dihubungi Tempo di Heemskerk, Belanda, Selasa, 27 September 2011 lalu, mengatakan kesulitan terbesar adalah mengumpulkan bukti untuk materi gugatan. "Saya pergi ke Galung Lombok, tempat yang bahkan enggak ada di Google Maps," ujar Yvonne.
Untuk memperkuat gugatan terhadap pembantaian Westerling, KUKB kini sedang mencari bukti-bukti kuat, seperti dokumen tertulis dan resmi yang mencatat kejadian mengenaskan itu. Jika bukti sudah lengkap, barulah surat gugatan dilayangkan ke pengadilan.
Pasukan khusus Belanda (DST) di bawah Raymond Westerling melakukan pembantaian massal di sejumlah daerah di Sulawesi Selatan pada 1946-1947. Pemerintah Indonesia mengklaim ada 40 ribu orang menjadi korban, tapi Pemerintah Belanda hanya menyebut angka 3.000, sedangkan Westerling mengatakan korban 600 orang.
Pasukan Belanda juga melakukan pembantaian di Rawagede, Jawa Barat, hingga menewaskan 431 penduduk. Korban dan anggota keluarga pembantaian dibantu KUKB melakukan penuntutan dan dimenangkan oleh Pengadilan Belanda.
Baca Juga:
Menurut Yvone, ia bertolak ke sejumlah daerah di Sulawesi Selatan pada Februari tahun lalu untuk mencari saksi dan korban tragedi itu. Adapun Galung Lombok sekarang sudah masuk wilayah Sulawesi Barat setelah ada pemekaran provinsi.
Di desa itulah pada 2 Februari 1947 terjadi pembunuhan massal oleh Westerling yang sempat mendapat bintang penghargaan dari pemerintah Belanda. Menurut Yvonne, dalam beberapa hari di Sulawesi, ia bolak-balik dari Polewali ke Majene, Suppa, Parepare, dan Galung Lombok.
"Saya ke sana salah waktu karena saat itu ada angin puyuh yang membuat jalan rusak dan perjalanan makin sulit. Untung ada saudara saya yang mengantar," ujarnya.
Dalam perjalanan tersebut, ia menemui dan mewawancarai 11 saksi kekejaman pasukan elite Belanda itu. Beberapa janda sempat takut ditemui karena sebelumnya ada pula orang yang mengaku bakal membantu mereka, tapi lantas malah meminta uang.
Ketika itu Yvonne bertemu dengan Sabriah Hasan, mantan wartawan sebuah harian lokal. Penulis buku biografi Andi Makkasau (Menakar Harga 40.000 Jiwa) itu kemudian ditunjuk menjadi perwakilan KUKB di Sulawesi.
Pada Januari lalu, Ketua KUKB, Jeffry M. Pondaag, bertandang ke Galung Lombok. Dengan bantuan Sabriah, ia menemui lagi para saksi untuk mewawancarai mereka dan merekamnya dalam kaset video.
Sayangnya, kamera video dan kaset rekamannya lenyap saat Jeffry pergi ke Puncak, Jawa Barat. "Tasnya ketinggalan di angkot (angkutan kota). Saat saya sadar dan mencoba mencari ke terminal, tas itu sudah enggak ada dalam angkot yang saya tumpangi. Saya menyesal dan sedih sekali," kata Jeffry. "Kalau mereka baca ini, saya mohon mereka kembalikan kasetnya saja. Kameranya enggak apa-apa diambil."
Sejumlah keluarga korban beberapa waktu lalu menyatakan siap melakukan gugatan ke Belanda dan berharap mendapat dukungan dari pemerintah. Tapi sejauh ini, Pemerintah Sulawesi Selatan belum memutuskan langkah yang akan ditempuh dalam mendorong gugatan keluarga korban pembantaian itu. Gubernur Syahrul Yasin Limpo mengaku belum memahami kasus itu. “Saya belum paham, nanti saya pelajari,” kata dia beberapa waktu lalu.
Pengamat hukum dari Universitas Hasanuddin, Profesor Muhammad Ashri, menyatakan kasus Westerling mengalami kendala pada aspek lokasi dan jumlah korban yang tidak pasti. "Semua serba asumsi. Makanya jangan mengangkat jumlah, tapi cukup peristiwa Westerling terhadap warga Sulawesi Selatan," katanya.
BUNGA MANGGIASIH (Heemskerk)