"Belum ada uang buat beli sandal," kata Habibah, ibu lima orang anak, Rabu pekan lalu. Sejak 2008, dia jadi tulang punggung keuangan keluarga. Maklum, dua perahu yang biasa dikelola sang suami sudah dijual karena hasil tangkapan ikan tidak menutupi biaya melaut. Cuaca yang berubah-ubah, kata Gobang, membuat kami sulit melaut dan jumlah ikan makin berkurang.
Untuk menambah pemasukan, Habibah banting tulang seharian. Seusai salat subuh, dia pergi ke tempat pelelangan membeli ikan. Lalu pukul 06.00-12.00 dia "ngider" berjalan kaki menjual ikan. Dalam satu hari, sekitar 12 kilogram (kg) ikan kembung, tongkol, dan bandeng terjual.
Sampai di rumah, pekerjaan lain menunggu, yaitu mengupas kerang milik pengepul. Dia dibayar Rp 1.500 untuk 1 kg kerang. Hingga sore dia cuma mengupas 4 kg. "Ibu-ibu lain di sini juga berebut jadi pengupas kerang," kata perempuan yang cuma sampai kelas V sekolah dasar.
Sore hingga malam hari, Habibah membuat terasi. Dari penjualan terasi, dia memperoleh keuntungan Rp 5.000 setiap kilogram. Sang suami membantunya membeli rebon (bahan pembuat terasi) dan ikan di tempat pelelangan. Gobang juga ikut mengupas kerang dan menjaga anak bungsu yang masih di sekolah dasar.
Ternyata kehidupan keluarga Gobang-Habibah menjadi potret Kampung Marunda Kepu, yang terletak di RT 008 dan RT 009 RW 07, Kelurahan Marunda Baru. Kampung ini dihuni oleh 200 keluarga nelayan.
"Perempuan yang tinggal di pesisir utara Jakarta melakukan pekerjaan tak kurang dari 17 jam setiap harinya," kata Abdul Halim, Koordinator Program Kiara (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) mengutip studi yang dilakukan lembaganya.
Studi Kiara juga mengungkapkan, 48 persen pendapatan keluarga nelayan dihasilkan dari aktivitas ekonomi perempuan nelayan. Mulai mengupas kerang, mencari cilong di laut, menjual ikan bandeng dan udang rebon, hingga membuat dan menjual terasi.
Tak hanya itu, pola yang sama juga terjadi di kampung nelayan lainnya di Tanah Air ketika perubahan iklim membawa dampak negatif bagi warga pesisir. Hal ini tampak dari studi kasus yang dilakukan Oxfam GB di Nusa Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat.
"Untuk membantu suami mencari uang, kami di rumah menjual dengan membuka warung yang menyediakan kebutuhan sehari-hari, seperti beras, gula, kopi, dan makanan kecil," kata Zainap Manabu, istri nelayan yang tinggal di Desa Kendahe, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, kepada peneliti Oxfam.
Tim peneliti Oxfam menemukan, selain membuka warung, perempuan melakukan pekerjaan lain sebagai bagian dari adaptasi perubahan iklim. Apa itu? Mengolah kopra dan pala, pemecah batu, serta tibo-tibo atau menjual ikan berkeliling kampung.
"Intervensi pemerintah bersifat jangka pendek, seperti memberi bantuan benih serta beras murah atau gratis," kata Roysepta Abimanyu, Policy Advocacy and Campaign Manager Oxfam Indonesia, dalam diskusi bertajuk “Perempuan dan Ketahanan Pangan Menghadapi Perubahan Iklim”, Selasa pekan lalu (22 Maret).
Padahal pemerintah harus memberi respons jangka panjang dengan mengurangi risiko bencana melalui perbaikan kondisi lingkungan. Para aktivis menyatakan, ketika negara absen menangani krisis akibat perubahan iklim, perempuan menjadi korban ketidakadilan berganda.
UNTUNG WIDYANTO | DIAN YULIASTUTI