Ketua Badan Pengelola Wisata Mangrove Bedul, Eko Kurniawan mengatakan pembatasan wisatawan itu dilakukan dengan menutup kawasan wisata setiap hari Senin. Saat penutupan itu, pengelola wisata akan melakukan pembersihan terhadap limbah yang ditinggalkan oleh wisatawan.
Menurut dia, pembatasan jumlah wisatawan merupakan permintaan dari Balai Taman Nasional Alas Purwo karena jumlah wisatawan membludak. Akibatnya, kata Eko, volume sampah yang mengotori area wisata semakin mengkhawatirkan. "Sampah semakin banyak sehingga mengancam kelestarian flora dan fauna di wilayah konservasi," kata Eko kepada TEMPO, Senin 28 Maret.
Obyek wisata Mangrove Bedul terletak di kawasan Taman Nasional Alas Purwo. Wisata yang baru dibuka tahun 2009 itu bisa menyedot pengunjung hingga 1.500 orang terutama pada hari Minggu atau hari libur lainnya.
Kepala Balai Taman Nasional Alas Purwo, Rudijanta Tjahja Nugraha, mengatakan, selain membatasi jumlah wisatawan, Balai TNAP juga membatasi jumlah perahu dan warung makanan. Jumlah perahu yang diperbolehkan melayani wisatawan berkeliling hutan Mangrove hanya 9 unit. "Sedangkan jumlah warung yang boleh buka hanya 12 buah ," kata dia.
Berbagai pembatasan itu, kata Rudijanta, karena sejak awal konsep Wisata Mangrove Bedul dikembangkan sebagai obyek wisata terbatas. Namun kenyataannya saat ini, Bedul telah menjadi obyek wisata massal.
Padahal kawasan seluas 2.300 hektare itu, menyimpan ratusan spesies flora dan fauna seperti 27 jenis mangrove, 40 jenis burung migran, penyu dan satwa lainnya.
Balai TNAP kini membentuk tim khusus untuk meneliti seberapa besar dampak pembukaan wisata Mangrove Bedul itu terhadap kelestarian lingkungan. "Sementara dampak yang paling menonjol adalah sampah," ujarnya.
IKA NINGTYAS