Tulisan Bibin menceritakan tentang dampak perubahan iklim terhadap produksi apel petani di kota Batu dan dimuat di Koran Tempo pada Oktober 2010 lalu. “Selain Bibin, ada sembilan lagi karya jurnalis yang kami rangkum dalam satu buku,” kata Chairman SIEJ, IGG Maha Adi, ketika menjadi pembicara dalam peluncuran dan diskusi buku “Jurnalis dan Perubahan Iklim di Indonesia”, di Profauna Petung Sewu Malang, Sabtu (12/3).
Menurut Maha Adi, setidaknya terdapat 50 jurnalis yang mengirimkan usulan tulisan ke SIEJ. Hanya saja, setelah dilakukan proses pemilihan hanya 10 yang terpilih. “Banyak yang tidak fokus, hanya sepuluh ini kira-kira yang layak dibukukan,” ujarnya.
Selain tulisan bibin, tulisan para jurnalis lain yang terpilih untuk diterbitkan dalam buku itu berjudul Ketinggian Rob Tidak Seimbang dengan Penurunan Tanah, Petani Kesulitan Manfaatkan Info Cuaca, Saatnya Petani Deteksi Cuaca Sendiri, Bedono Tenggelam, Wereng Merajalela Petani Tak Berdaya, Aksi Adaptasi di Ciptagelar, Berjibaku dengan Rob di Pesisir Jakarta, Petani Melawan Perubahan Iklim, dan Bersahabat dengan Iklim.
“Yang membanggakan, kumpulan tulisan para jurnalis ini pernah kita bagikan dan mendapatkan tanggapan yang menarik saat Konfersi perubahan iklim di meksiko akhir tahun lalu,” kata Maha Adi.
Didik Suprayoga, pemerhati masalah iklim dari Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang mengatakan, buku ini menginspirasi bahwa perubahan iklim tidak hanya wacana. “Para jurnalis berhasil membumikan perubahan iklim kedalam sebuah tulisan yang sangat menyemangati,” kata Didik.
Didik berharap, jurnalis lebih banyak lagi mengeluarkan tulisan-tulisan seperti ini. Apalagi perubahan iklim saat ini sudah sangat membahayakan. “Menurut penelitian, jika air laut naik setengah meter saja, maka pulau jawa akan hilang 113 ribu hektar. Dan jika naiknya 1 meter maka hilang 146,5 hektar,” kata dia.
FATKHURROHMAN TAUFIQ/ABDI PURMONO