TEMPO Interaktif, Jakarta - Komisi Nasional Perempuan mencatat, 105.103 perempuan Indonesia menjadi korban kekerasan pada 2010. Jumlah itu merupakan akumulasi kasus yang ditangani 384 lembaga penyedia layanan.
"Jumlah terbanyak adalah kasus di ranah personal, yaitu lebih dari 96 persen kasus," ujar Komisioner Komnas Perempuan Yustina Rostiawati di Jakarta.
Komnas juga mencatat, 3.530 kasus terjadi di ranah publik dan 445 kasus di ranah negara. Total jumlah kasus kekerasan pada 2010 menurun dibanding pada 2009, yang mencapai 143.586 kasus.
Namun, kata dia, situasi ini tak bisa serta-merta diartikan jumlah dan intensitas kekerasan menurun. "Sebaliknya, Komnas Perempuan mengamati, tahun 2010 seolah menjadi titik kembali perempuan hidup dalam cengkeraman teror," kata dia.
Yustina menambahkan, data pada 2010 menunjukkan angka kekerasan di ranah negara naik delapan kali lipat, yaitu dari 54 kasus pada 2009 menjadi 445 kasus. Sekitar 89 persennya (395 kasus) adalah perempuan korban penggusuran di Jakarta.
Dari data tersebut, kata dia, 10 kasus di ranah negara dilakukan atas nama agama dan moralitas, yaitu dalam kasus pembakaran masjid, penghentian kegiatan keagamaan, serta korban perdagangan manusia, yang dijerat dengan Undang-Undang Pornografi.
Adapun di ranah publik, hampir setengahnya (1.751 kasus) adalah kekerasan seksual, antara lain dalam tindak pemerkosaan, percobaan pemerkosaan, pencabulan, dan pelecehan seksual.
Sedangkan di ranah personal, kasus kekerasan terhadap istri masih paling banyak, yaitu lebih dari 97 persen atau 98.577 kasus dari 101.128 kasus. Selebihnya, terdapat 1.299 kasus kekerasan dalam pacaran dan 600 kasus kekerasan terhadap anak perempuan.
Menurut Yustina, banyak perempuan korban kekerasan tidak melaporkan kasusnya sehingga jumlah kasus yang ditangani menurun. Penyebabnya antara lain sulitnya korban mendapat dukungan dari orang-orang terdekatnya, rasa malu maupun trauma, dan keterbatasan mengakses layanan yang tersedia.
Selain itu, kata dia, ada 55 lembaga yang pada tahun sebelumnya ikut serta dalam menyusun catatan tahunan kali ini tak dapat memberikan data.
Komnas Perempuan juga menilai dukungan pemerintah dalam hal penyelenggaraan layanan kepada perempuan masih kurang, bahkan nyaris tidak ada. Komnas menyimpulkannya setelah berkoordinasi dengan lembaga penyedia layanan tentang pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014.
Di kepolisian, misalnya, halangan untuk memberikan pelayanan bukan hanya karena masalah anggaran, tapi juga perubahan struktur yang menegaskan peran Unit Pelayanan Perempuan dan Anak."Berkurangnya kapasitas negara dalam memberi layanan kepada perempuan korban kekerasan sangat mengkhawatirkan," ujar Yustina.
Komisioner Komnas Perempuan lainnya, Arimbi Heroepoetri, menambahkan, pada saat tubuh dan identitas diri perempuan terus-menerus menjadi target kekerasan, kapasitas penyelenggara negara untuk melakukan penanganan justru berkurang.
Bahkan, kata dia, ada sejumlah peristiwa yang menunjukkan bahwa penyelenggara negara enggan mengambil sikap dan justru memperparah keadaan. Dia mencontohkan pelecehan seksual yang dihadapi perempuan Ahmadiyah dalam tragedi Cikeusik, Pandeglang, 6 Februari lalu. "Hal ini mengguncang rasa aman perempuan," kata Arimbi.
l ISMA SAVITRI