TEMPO Interaktif, Pontianak - Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat di Kalimantan Barat mendesak pemerintah bertindak tegas atas alih fungsi hutan oleh sejumlah perusahaan. Pengalihan itu selain illegal juga menimbulkan banyak masalah.
Hal tersebut disampaikan oleh Yayasan Titian, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Konsorsiaum Anti Ileggal Logging (KAIL) serta Amanat Masyarakat Pedalaman (AMAN) kepada TEMPO di Pontianak, Rabu (16/2), menanggapi rencana pemeritah mengubah tata ruang kawasan hutan menjadi Hak Peruntukan Lain (HPL).
“Usulan perubahan tata ruang hutan harus ditinjau ulang, karena menimbulkan banyak rmasalah. Bahkan, di Kabupaten Sanggau dan Bengakayang, sejumlah perusahaan sawit mengunakan lahan illegal,” kata Rido, Manajer Program Yayasan Titian, Rabu (16/2).
Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat, Blasius Hendi Candra, meminta Menteri Kehutanan berhati-hati untuk mensetujui usulan perubahan tata ruang kawasan hutan menjadi HPL seluas 2,3 juta ha. “KPK harus turun tangan karena banyak kawasan hutan sudah ditanami sawit dan jadi kawasan tambang illegal. Kalau perubahan karena alasan kawasan penduduk itu tidak besar jumlahnya, inikan pasti ada kepentinan para inventor yang lebih besar,” ungkapnya.
Hendi mengaku sudah meminta Menteri Kehutanan melaporkan kasus tersebut kepada KPK, termasuk kasus illegal logging yang tidak tuntas.
“Kasus pelaku illegal Logging Ketapang yang masuk daftar buronan polisi juga harus diteruskan dan ditangkap. Karena para DPO Mebes Polri itu masih berkeliaran bebas di Pontianak dan Ketapang, bahkan membuka usaha lain termasuk tambang dan sawit, agar masyarakat tidak menjadi bingung soal keadilan,” katanya lagi.
Dari data Dinas Kehutanan Kalimantan Barat diperoleh keterangan, sekitar 1,5 juta hektare kawasan hutan telah beralih fungsi menjadi kawasan perkebunan dan pertambangan secara ilegal. Tumpang tindih perizinan itu terjadi hampir merata, seperti Kabupaten Landak, Ketapang, Bengkayang Sintang, Melawi, Kapuas Hulu, Sambas, Sanggau, dan Kubu Raya.
Di Desa Pamayam, Kecamatan Ngabang, Kabupaten Landak di kawasan hutan produksi milik PT. Sinar Kalbar Raya, Bumi Raya Group telah ditanami kebun sawit seluas 6000 hektare. Direktur BRU Thomas Agap Alim saat dihubungi Tempo di kantornya enggan memberi keterangan.
Ketua AMAN, Kalimantan Barat Surjani Alloy justru menunding rencana perubahan kawasan hutan tidak mewakili kesejahteraan masyarakat pedalaman. “Itukan untuk kepentingan para penguasa dan pengusaha sawit dan tambang, masyarakat di pedalaman akan makin tersingkir dari tanahnya sendiri. Lihat saja Kalbar sekarang, hampir semua kabupaten dan kota tenggelam oleh banjir."
Kepala Badan Pertahanan Nasional (PBN) Kalimantan Barat Imel Poluan mengaku telah memberikan data yang dibutuhkan tim Perubahan Tata Ruang dari Dinas Kehutanan dan Dinas Pekerjaan Umum.
"BPN tidak masuk dalam tim inti, hanya memberikan data yang kami punya, keputusan tentunya pada mereka," kata Imel.
Staf Humas dan Komunikasi Departemen Kehutanan Purwantio membenarkan, sejumlah pejabat dari kantornya besok Kamis (17/2) akan datang ke Pontianak bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bareskim Mabes Polri, Kejaksaan Agung, dan Satgas Mafia Hukum, untuk melakukan rapat koordinasi dengan kepala daerah tingkat II dan Gubernur Kalimantan Barat.
Kalimantan Barat memiliki luas daratan 14.546.319 Ha, berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan No 259/kpts-ii/2000, kawasan seluas 9.101.760,00 Ha (62,57% dari luas total) telah ditunjuk kawasan hutan seluas yang terdiri dari (1) kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam seluas 1.645.580 Ha, (2) Hutan Lindung (HL) seluas 2.307.045 Ha, (3) Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 2.445.985, (4) Hutan Produksi (HP) seluas 2.265.800 Ha, (5) Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 514.350 ha.
HARRY DAYA