TEMPO Interaktif, Semarang - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Jawa Tengah menetapkan tahun 2010 sebagai tahun maraknya tindakan pembajakan anggaran daerah di Jawa Tengah.
Koordinator FITRA Jawa Tengah Mayadina RM menyatakan di tengah segala macam keterbatasan yang melanda keuangan daerah ternyata ditemukan banyak praktek pembajakan anggaran yang dilakukan para elite daerah.
"Terutama terjadi pada pos anggaran yang tingkat akuntabilitasnya rendah dan memiliki kerawanan terhadap penyimpangan," kata Mayadina dalam siaran persnya mengenai catatan akhir tahun APBD 2010 Jawa Tengah, Rabu (30/12).
Mayadina mencontohkan adanya bancakan bantuan sosial. Pada laporan realisasi APBD tahun 2009 ditemukan penyimpangan penggunaan bantuan sosial yang tersebar di 19 provinsi sebesar Rp 765,3 miliar. Di Jawa Tengah sendiri, penyimpangan dana Bansos mencapai Rp 173 miliar.
Menurut Mayadina, dari sisi proses penetapan alokasi Bansos tidak melalui usulan kebutuhan masyarakat secara partisipatif sehingga orientasi peruntukannya tidak jelas. "Kecenderungannya Bansos hanya dibagikan oleh elite daerah kepada jaringan politik dan pengikutnya saja," kata dia.
Baca Juga:
Modus penyimpangan yang dilakukan di antaranya adalah pemberian bantuan tanpa adanya pengajuan, pemberian lebih dari alokasi terhadap satu organisasi, terdapat potongan pada setiap item bantuan dan tidak adanya pertanggungjawaban atas penggunaan dan terindikasi adanya bantuan fiktif. "Para elite berlindung di balik penyebutan dana aspirasi," ujar Mayadina.
Selain bantuan sosial, FITRA menemukan adanya penyalahgunaan bantuan partai politik.
Di Jawa Tengah, penyimpangan bantuan yang dilakukan oleh partai politik mencapai Rp 1,046 miliar. Menurut Mayadina, bantuan ini menjadi beban baru anggaran daerah dan tidak bermanfaat apa pun bagi masyarakat. Jika terjadi penyimpangan dengan nominal yang besar, maka sesungguhnya partai politik hanya menyumbang masalah dan merugikan rakyat.
Mayadina memperkirakan, lahirnya Undang-Undang Partai Politik yang baru yang meningkatkan batas keuangan sumbangan partai politik dari badan usaha menjadi Rp 7,5 miliar akan menjadi lahan baru penyimpangan. "Sebab, bantuan yang berasal dari anggaran publik pun rendah tingkat akuntabilitasnya," kata dia.
Mayadina juga menyimpulkan pembajakan duit negara melalui pelesiran yang dilakukan para elite politik dan pejabat. Menurut Mayadina, belanja perjalanan dinas yang dibiayai dengan uang rakyat banyak disalahgunakan oleh elite-elite daerah dengan modus perjalanan fiktif dan tidak adanya pertanggungjawaban yang memadai. "Dana pelesiran menjadi ajang tambahan uang penghasilan baru," katanya.
Ada pula belanja penunjang operasional yang menjadi legalisasi pencurian uang rakyat. Menurut Mayadina, di samping alokasinya yang besar ternyata ditemukan terjadinya penyimpangan sebesar Rp 510 juta dengan indikasi utama bahwa pemberian penunjang kepala daerah dan satuan kerja perangkat dinas tidak sesuai dengan peraturan.
Sementara porsi APBD yang berorientasi untuk menyejahterakan rakyat juga minim. Makin tingginya belanja pegawai dibanding belanja publik menjadi beban APBD sehingga berakibat pada makin berkurangnya belanja untuk rakyat. Proporsi belanja tidak langsung di Jawa Tengah mencapai 63,23 persen dan 31,04 persennya habis untuk gaji dan tunjangan pegawai.
ROFIUDDIN