TEMPO Interaktif, Jakarta - Wartawan perang Hendro Subroto tutup usia kemarin (14/10). Almarhum meninggal pada usia 71 tahun di Rumah Sakit Qadr Islamic Village Karawaci, Tangerang, Banten, dan akan dimakamkan di San Diego Hill, Karawang, Sabtu (16/10).
"Sebelumnya beliau mengeluhkan sesak napas," ujar keponakan Hendro, Poerwadi Waspodo, 40 tahun, ketika ditanya penyebab kematian Hendro, Jumat (15/10). Hendro meninggal kemarin sekitar pukul 19.15 WIB.
Menurut Poerwadi, fisik Hendro sebelumnya cukup bagus. Bahkan, saat cek kesehatan, indikator kesehatan fisik Hendro kerap lebih baik ketimbang anak-anak muda. Namun, kondisi jantung Hendro melemah sekitar lima tahun lalu. "Fungsi jantungnya kurang dari 20 persen," ujar Poerwadi.
Almarhum meninggalkan dua orang anak yaitu Marisa Astuti, 39 tahun, dan Magenda, 38 tahun. Ia sudah lama berpisah dengan istrinya, Budi Astuti.
Saat ini, jenazah almarhum disemayamkan di Krematorium Oasis, Bitung, Tangerang. Pada Jumat sekitar pukul 19.00, kebaktian penghiburan akan digelar. Sementara kebaktian pelepasan jenazah digelar besok pukul 09.00. Jasad akan dibawa dari Krematorium Oasis menuju San Diego Hill, Karawang, pukul 10.00, Sabtu (16/10).
Menurut Poerwadi, keluarga sudah memaklumi tugas almarhum yang sering bepergian sebagai wartawan perang. "Anak-anaknya sudah disiapkan untuk mandiri," ujar Poerwadi.
Hendro memulai karier wartawan dengan pendidikan News Reel Cameraman di TVRI pada 1964. Ia kemudian mengambil pendidikan Television Journalism di OTCA, Tokyo, Jepang. Selama ini ia dikenal sebagai wartawan perang.
Liputan konflik bersenjata pertamanya adalah di Serawak, Malaysia Timur, pada 1964, saat konfrontasi Malaysia. Cenderung otodidak, profesi sebagai wartawan membawa Hendro ke banyak wilayah perang, konflik bersenjata.
Ia menyaksikan bagaimana nyawa manusia cuma dihitung dengan angka setelah menjadi jenazah, untuk kemudian ditumpuk dalam lubang-lubang penguburan massal. Dalam wawancara dengan Majalah Tempo, Maret 2001, Hendro mengaku salah satu mosaik pengalaman yang tak terlupakan baginya adalah mengabadikan pengangkatan jenazah enam jenderal dan seorang kapten pahlawan revolusi yang terbunuh dari Lubangbuaya pada 4 Oktober 1965.
Liputan itu disiarkan di TVRI selama tiga hari berturut-turut, disertai narasi yang mengungkapkan betapa keji cara PKI membunuh mereka: di tengah pesta Gerwani (organisasi wanita PKI), kelamin serta anggota tubuh para korban disayat-sayat. Liputan itu membakar amarah rakyat, yang kemudian menjadi dalih pembantaian dan prosekusi puluhan tahun kepada orang-orang PKI serta mereka yang dituduh komunis.
Setelah pensiun dari TVRI pada 1992, Hendro tidak berhenti terjun dan menulis. Ia menjadi kontributor resmi untuk tulisan-tulisan teknologi militer pada beberapa majalah asing, antara lain Military Aviation Air Force yang terbit di Inggris.
KODRAT SETIAWAN| MBM TEMPO