TEMPO Interaktif, Gorontalo - Hasil penelitian terbaru di tahun 2010 tentang Danau Limboto mengungkapkan bahwa kedalaman danau terbesar di Gorontalo itu kini tinggal 1,9 meter dan luas tinggal 1.850 hektare.
“Kami baru saja melakukan penelitian di Danau Limboto dan ternyata kondisinya kian kritis,” ungkap Jasin Tuloli, peneliti dari Universitas Negeri Gorontalo kepada Tempo, Kamis (14/10).
Menurutnya, proses sedimentasi di Danau Limboto makin drastis. Hal ini dibuktikan dengan makin mendangkalnya Danau Limboto dari waktu ke waktu. Pada tahun 1932, luas Danau Limboto 7.000 hektare dengan kedalaman 30 meter. Tahun 1965 luasnya sekitar 5.000 hektare dengan kedalaman 18 meter. Tahun 1975 luasnya 3.500 hektare dengan kedalaman 6,85 meter.
”Namun, ketika memasuki tahun 2005 hingga 2007, kedalamannya tinggal 2-3 meter dengan luas 2.000 sampai 2.571 hektare. Dan saat ini setelah kami teliti luasnya tinggal 1.850 hektare dan kedalaman 1,9 meter,” kata Jasin.
Jasin mengatakan beberapa temuan yang menyebabkan kerusakan di Danau Limboto adalah adanya penebangan hutan di sekitar danau dan pinggiran sungai serta kawasan hutan di hulu sungai.
”Sehingga menyebabkan terjadi erosi. Lalu kalau musim hujan mengalir ke sungai dan dibawa ke danau berupa sedimen,” ungkapnya.
Selain itu, kata dia, penyebab masalah di Danau Limboto salah satunya adalah kebijakan yang bermuatan politik yang turut merusak kelestarian danau, seperti pemberian sertifikat tanah dengan murah atau tanpa biaya dengan maksud terselubung agar memberikan dukungan suara pada calon pejabat tertentu dalam pelaksanaan pemilihan.
Vierta R Tallei, peneliti lainnya, mengatakan hasil penelitian itu menemukan beberapa pemikiran yang dapat dijadikan pedoman atau masukan untuk merekayasa sumber masalah Danau Limboto menjadi sumber kemakmuran bagi masyarakat Gorontalo.
”Agar sumber masalah bisa dijadikan sumber kemakmuran, maka masyarakat harus diberi sentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi,” ungkap Vierta.
Ia menjelaskan, pelestarian Danau Limboto memerlukan waktu yang sangat panjang dan harus dijadikan salah satu prioritas pembangunan daerah. Akan tetapi, katanya lagi, pelestarian tersebut tidak boleh tergantung dari masa kerja pemerintah daerah, baik gubernur, bupati maupun wali kota.
”Ketergantungan tersebut menyebabkan tidak ada kesinambungan dari satu periode masa jabatan ke periode masa jabatan pemerintah berikutnya,” ujar Vierta.
CHRISTOPEL PAINO