TEMPO Interaktif, Magelang - Rencana kenaikan tarif Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah menuai kecaman. Gerakan Masyarakat untuk Transparansi Kebijakan menilai rencana itu sebagai ketidakmampuan manajemen mengelola layanan kesehatan yang nyaman dan murah bagi masyarakat. “Harusnya itu pilihan (menaikan tarif) yang terakhir,” kata Koordinator Gerakan Iwan Hermawan, Minggu (8/8).
Menurut Iwan, kenaikan tarif Rumah Sakit selalu akan diikuti oleh kenaikan tarif jasa medis dan dokter, baik umum maupun spesialis. Sehingga dikhawatirkan, kondisi itu akan memicu kian mahalnya berbagai tarif layanan kesehatan. “Bagi tenaga medis itu berkah, tapi bagaimana dengan pasien miskin,” kata dia mempertanyakan.
Rencana kenaikan tarif ini bergulir setelah direksi Rumah Sakit Umum Daerah mengajukan perubahan Peraturan Daerah nomor 3 tahun 2005 ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Magelang, pekan lalu. Peraturan tentang retribusi pelayanan kesehatan itu dinilai tak lagi sesuai dengan kondisi perekonomian saat ini.
Iwan berharap dengan gerakan ini pihak legislatif tak sekedar melakukan peninjauan kembali atas peraturan daerah itu, tapi juga melakukan evaluasi terhadap kinerja Rumah Sakit. Sehingga kenaikan tarif yang direncanakan dapat diimbangi dengan peningkatan kualitas layanan kesehatan.
Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Magelang, Sasongko membantah kenaikan tarif akan menjadi beban bagi masyarakat. Terlebih bagi warga miskin. “Itu hanya untuk kalangan menengah ke atas,” kata dia.
Pasien dari keluarga miskin, lanjut dia, tetap akan mendapat layanan gratis. Kebutuhan layanan kesehatan mereka ditanggung oleh program jaminan kesehatan, baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Adapun pasien miskin yang tak terdaftar di kedua program jaminan itu, dapat membawa Surat Keterangan Tidak Mampu dari Kelurahan asal, untuk mendapat layanan kesehatan gratis.
Menurut dia, kenaikan tarif dilakukan karena tak lagi sesuai dengan kondisi ekonomi yang berkembang. Dia memberi contoh, untuk tarif kamar klas ekonomi kini sebesar Rp 12 ribu per hari. Padahal untuk menanggung biaya makan pasien saja mencapai Rp 16 ribu per hari.
Selain itu, selama lima tahun, peraturan daerah itu sama sekali tak pernah direvisi. Semestinya, peraturan daerah itu telah direvisi sejak dua tahun lalu agar tarif yang diatur di dalamnya tetap sesuai dengan perkembangan ekonomi.
ANANG ZAKARIA