Menurut Guruh, penerbitan surat sensor merupakan merupakan kewenangan Lembaga Sensor Film sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Perfilman. Ketentuan tersebut mengatur bahwa LSF berwenang menyensor gambar, adegan, suara atau teks baik untuk sebagian atau keseluruhan. “Setiap film wajib memiliki surat lulus sensor,” katanya.
Sensor dapat dilakukan bila sebuah karya film dinilai bertabrakan dengan norma keagamaan, ideologi, politik, sosial, budaya dan ketertiban umum. Begitupun dengan film-film yang dinilai berpotensi mengadu domba dan mengganggu stabilitas nasional. “Termasuk adegan seks dan kekerasan yang waktu tayangannya lebih dari 50 persen,” katanya.
Gugatan diajukan AJI Jakarta melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers atas surat larangan penanyangan film Balibo. AJI menilai larangan tersebut telah menciderai hak publik atas informasi dan memberangus prinsip penegakan kebebasan pers lantaran tayangan tersebut bercerita tentang pembunuhan lima jurnalis asal Australia ketika meliput di Timor-timor.
Dalam konteks film Balibo, hakim mengaku dapat menerima argumen LSF yang menyatakan bahwa film tersebut dapat membuka luka lama hubungan antara Indonesia, Australia dan Timor-timor. Padahal, objektifitas film tersebut itu sendiri masih bisa diperdebatkan. “Tidak jelas siapa yang membunuh dan siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban,” katanya.
Atas putusan tersebut, hakim mewajibkan AJI Jakarta untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 215 ribu. AJI Jakarta juga dipersilahkan mengajukan upaya hukum lanjutan jika merasa keputusan yang dikeluarkan hari ini dinilai belum memenuhi rasa keadilan. “Keputusan ini tentu tidak bisa memenangkan atau mengalahkan semua pihak,” ujarnya.
Kuasa Hukum AJI Jakarta, Hendrayana menyesalkan putusan tersebut. “Putusan ini menciderai pelembagaan prinsip negara demokratis,” ujarnya. Ia pun menyayangkan sikap hakim yang mengakomodasi kekhawatiran LSF tentang potensi gangguan stabilitas kemananan. “Itu tidak pernah terbukti. Padahal film ini kerap ditayangkan di sejumlah kota,” kata Direktur Eksekutif LBH Pers ini.
Hal serupa dinyatakan Ketua AJI Jakarta, Wahyu Dhyatmika. Ia menilai putusan itu sebagai cermin kegagalan negara dalam menjamin akses publik atas informasi dan penegakkan prinsip kebebasan pers. “Putusan hakim hanya berpijak pada argumen hukum formal tapi melupakan konteks besar dan esensi gugatan yang kami ajukan,” ujarnya.
Menurut Wahyu, praktek penyensoran merupakan produk paradigma lama yang menempatkan informasi sebagai ancaman. “Putusan ini membawa kita mundur dari alam reformasi. Keberadaan film balibo mestinya wajib ditonton oleh siapapun agar kita bisa bersikap jujur terhadap masa lalu dan tidak mengembangkan rezim impunitas,” ujarnya. "Yang jelas kami akan banding," imbuhnya.
RIKY FERDIANTO