Hokiarto mengatakan, pada awal Januari 1996 Goro mengirim surat yang memintanya untuk hadir di kantor perushaan itu dalam rangka membicarakan jual beli tanah. Saat itu ia diminta menyediakan tanah seluas 60 hektare.
Tanah tersebut, kata dia, dihargai Rp 80 ribu per meter. Untuk 60 hektare yang diserahkan kepada Goro, Hokiarto menerima uang Rp16,25 miliar, yang merupakan pembayaran atas tanah 25 hektare yang harsu dicarinya. Sisanya, ujar Hokiarto, dalam perjanjian dengan Goro akan dibayarkan kemudian.
Hingga Deesember 1998, ternyata Goro belum juga membayar sisa uang yang dijanjikannya. Karenanya, Hokiarto lalu mengadu kepada Beddu Amang, yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Bulog dan diakuinya sudah dikenalnya sejak tahun 1970-an. Dalam pertemuan dengan Beddu, yang terjadi tanpa sepengetahuan pihak Goro, Hokiarto menginginkan agar perjanjian dengan Goro diputuskan. Namun waktu itu, Beddu melarang tindakan tersebut.
Agar perjanjian terus berjalan Beddu memberikan uang Rp 32,5 milyar untuk membayar pembelian sisa tanah yang dibutuhkan untuk proses ruislag tersebut, dengan jaminan tanah Hokiarto di luar tanah di Marunda yang telah dijual ke Goro. Menurut taksiran Hokiarto, nilai tanah yang dijaminkan kepada Bulog melebihi dana sebesar Rp 32,5 miliar. Sehingga kalau nggak jadi, Bulog kan aman, ujarnya.
Menurut Hokiarto, hingga saat ini ia belum juga menerima sisa uang dari Goro. Padahal uang yang telah diterimanya dari Bulog, baru bisa dibayar jika dia sudah menerima pembayaran dari Goro. Karenanya, menurut dia, dirinya merasa dirugikan oleh Goro.
Atas keterangan Hokiarto tersebut, Beddu Amang membenarkan semuanya. Ia juga menyatakan bahwa sejak 1998 PBB atas tanah tersebut sudah dibayar oleh Bulog. Dan sejak Februari 2000 sudah masuk dalam neraca aset Bulog.
Pemeriksaan saksi selanjutnya, Ruskandar, ditangguhkan hingga (8/3). Terdakwa meminta hakim menangguhkan sidang karena merasa kelelahan. (Uly Siregar)