Kelemahan tim ahli itu adalah mereka sangat tergantung pada proses politik di MPR. Sehingga, apapun hasil perubahan konstitusi (amandemen UUD 1945) mudah diubah berdasarkan kepentingan politik yang berlangsung di parlemen. Lagipula, (tim) belum menunjukkan representasi publik, kata Irianto dari LBH Jakarta, salah satu LSM yang tergabung dalam koalisi tersebut.
Koalisi yang terdiri dari 14 LSM itu juga mengusulkan pembentukan komisi konstitusi sebagai pengganti tim ahli. Tetapi, komisi itu, kata Irianto, harus memiliki legitimasi dan kewenangan penuh. Ia (komisi) diangkat oleh MPR, kata Irianto.
Sayangnya, usulan itu ditolak Komisi II MPR. Padahal, menurut Smita, wakil dari Cetro (Center for Electoral Free Reform), ke-20 ahli dalam tim itu hanya akan melanjutkan materi hasil amandemen I dan II UUD 1945. Sementara yang sudah ditetapkan di Sidang Tahunan MPR tahun 2000, meski masih dipertanyakan tidak akan dibahas lagi.
Meski demikian, Irianto menegaskan akan terus mengajukan usulan tersebut. Kami akan berjalan paralel dengan PAH I BP MPR dalam perubahan konstitusi, katanya. Masyarakat tinggal memilih mana yang terpercaya.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Komisi Konstitusi terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Cetro, YLBHI, LBH Jakarta, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Icel (Indonesian center for environmental law), ICW, Koalisi Permpuan Indonesia KPI), Kontras, Leip (Lembaga kajian dan advokasi untuk independensi peradilan) PBHI, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. Turut serta dalam koalisi tersebut adalah Sri Bintang Pamungkas.(Dede Ariwibowo)