TEMPO.Co, Melbourne -- Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Melbourne Todung Mulya Lubis mengatakan pandangan dan keyakinan bahwa hukuman mati akan memberi efek jera pada para pelaku kejahatan sejauh ini tak terbukti. Saat memberikan kuliah umum di Centre for Indonesian Law, Islam and Society di Melbourne Law School, tadi malam, Senin, 24 Agustus 2015, Todung mengutip beberapa argumen dan penelitian serta pengalaman di beberapa negara lain untuk memperkuat pernyataannya.
“Hukuman mati tidak lebih membuat jera dibandingkan dengan hukuman berat lainnya seperti ancaman penjara seumur hidup atau 20 tahun,” katanya. Sebaliknya, hukuman mati secara jelas mengancam dan bertentangan dengan hak hidup seseorang yang merupakan hak asasi yang dijamin dalam konstitusi.
Hadir dalam kuliah umum tersebut sejumlah guru besar hukum , seperti Tim Lindsey, dan para pengacara senior seperti Jim Nolan. Tampak pula para mahasiswa pasca-sarjana, termasuk sejumlah mahasiswa asal Indonesia di Australia.
Todung mengatakan pengalaman di Indonesia menunjukkan, meskipun hukuman mati semakin sering dijatuhkan dan eksekusi dilaksanakan, angka kejahatan tak serta-merta menurun. Hal yang sama diungkapkan melalui penelitian Dave McRae, seorang Indonesianis di Asia Centre, Universitas Melbourne. McRae menghitung, pengadilan di Indonesia justru semakin banyak menerapkan hukuman mati di era demokratic pasca-transisi reformasi 1998.
Dalam kuliahnya, Todung menceritakan berbagai sisi tragis penerapan hukuman mati seperti dalam kasus yang ia tangani, yakni terhadap dua warga Australia yang dituduh menjadi anggota jaringan penyelundup narkotik “Bali Nine”, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. “Saya bukan hanya melawan penyalahgunaan narkotik, saya bahkan anti-rokok,” katanya. “Perlu hampir sebulan sebelum saya akhirnya setuju mengambil kasus ini. Saya membatasi hanya untuk mempertanyakan konstitusionalitas hukuman mati yang diterapkan jaksa maupun hakim.”
Todung kemudian memaparkan berbagai kontradiksi legal terkait hukuman ini. Juga pertentangannya dengan prinsip dasar hak asasi yang secara tegas dituliskan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pada akhir paparan, pengacara senior dan pengajar hukum di Universitas Indonesia ini menyimpulkan ada empat alasan mengapa hukuman mati bukanlah jawaban tepat bagi pemberantasan kejatahan, termasuk narkotik. Yang pertama adalah tidak adanya bukti bahwa eksekusi mati memberikan efek jera bagi mereka yang berbuat jahat atau hendak berbuat jahat. “Ketika Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa hukuman mati diperlukan karena Indonesia menghadapi darurat kejahatan narkotik, tak ada data yang disodorkan untuk medukungnya.”
Kedua: ada risiko vonis mati dijatuhkan bukan pada penjahat sebenarnya alias keliru sasaran. Bila itu terjadi dan eksekusi telah berlangsung, maka tak ada lagi yang bisa dilakukan untuk mengoreksinya. Kasus-kasus vonis keliru ini acap kali terjadi dan telah menimpa orang-orang yang diyakini tak bersalah. Di Amerika, misalnya, sejumlah lembaga anti-hukuman mati mengatakan jumlah eksekusi yang tak tepat itu mencapai ratusan, bahkan mungkin ribuan kasus.
Alasan ketiga adalah parahnya korupsi di antara para penegak hukum, baik selama proses di kepolisian, penuntutan di kejaksaan, sampai ke hakim. Sulit untuk bisa menerima bahwa seseorang harus diambil nyawanya sebagai buah dari dari proses hukum dalam sistem yang korup.
Dan faktor keempat: konstitusi kita dengan jelas memberi ruang bagi pengampunan melalui grasi oleh Presiden. “Sayang sekali, dalam kasus Myuran dan Andrew, tak ada penyelidikan terhadap permohonan grasi mereka. Tak ada alasan yang diberikan atas keputusan menolak permohonan itu,” kata Todung. “Ini jelas tak bisa diterima dan merupakan penghinaan atas hak hidup dan rasa keadilan.”
Y. TOMI ARYANTO (Melbourne)