TEMPO Interaktif, Jakarta - Abul Qosim, 30 tahun, warga Desa Ganding, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, begitu antusias menunjukkan rumahnya yang dibangun sejak 1934 silam.
Meski ibarat manusia sudah sepuh, rumah itu masih kokoh dan asri dengan hiasan keramik hijau motif kembang mencolok di lantai. "Ini rumah tradisional Madura," ujarnya.
Bentuk rumah itu sangat unik, atapnya punya dua bagian kecil dan besar. Atap yang kecil menyembul setinggi tiga meter, orang Madura menyebutnya bubungan, di dua ujungnya ada relif kepala naga. Terasnya sangat luas, tidak ada kamar tidur, tiang-tiang penyangga, pintu dan jendela penuh ukiran, jendelanya bahkan tanpa kaca.
Tapi menurut Abul yang paling unik, rumahnya itu dibuat tanpa memakai paku. "Sejak saya tempati, saya belum lihat ada paku," ungkapnya kepada Tempo, Jumat (8/1).
Rumah tradisional Madura memang elit, semua kayu yang digunakan kayu Jati. Agar tak memakai paku, kayu yang dipakai mulai tiang penyangga sampai atap disambung dengan pasak atau kayu berbentuk lancip.
Sebelum pasak dipasang, kayu terlebih dahulu dilubangi. Tapi rumah tradisional tak berpaku, menurut Abul, sulit dicari, sebab kebanyakan yang ada sekarang menggunakan paku. "Saya kagum dengan arsitek jaman dulu, Sudah puluhan tahun gak rusak," tuturnya.
Tidak hanya unik, ukiran pada rumah tradisional Madura juga jadi incaran maling. Mabruhan, 40 tahun, bibi Abul, pernah kehilangan fentilasi jendela rumahnya karena dicuri. "Waktu itu saya menginap dirumah saudara, waktu pulang fentilasinya sudah hilang," cerita perempuan beranak satu ini.
Menurut Abul, ukiran kuno Madura memang jadi incaran kolektor atau pendagang barang kuno. Harganya bisa mencapai Rp 20 juta di pasaran per ukiran. Tapi oleh pedagang biasanya ukiran ditawar murah. "Padahal nanti dijualnya mahal, mereka mau membodohi kami," katanya.
Di Desa Ganding jumlah rumah tradisional Madura terus berkurang. Banyak warga yang merenovasi rumah mereka menjadi lebih moderen seperti banyak dijumpai di daerah perkotaan.
Abul termasuk warga yang tetap menyukai bentuk rumah tradisional Madura yang dianggapnya memiliki nilai seni yang tinggi dan akan menjadi warisan budaya. "Saya yakin suatu saat rumah saya akan jadi barang langka," ujarnya.
Mungkin karena sudah tua di makan usia, kebanyakan rumah tradisional di Desa Ganding tampak kumuh dan tidak terawat. Namun, Abul tahu cara membuat rumahnya tetap sedap dipandang mata.
Ia memasang keramik di seluruh lantai rumahnya dengan warna hijau mencolok. Tiap lebaran, seluruh rumah dicat ulang. "Anda lihat saja, meski kuno tetap menarik," tuturnya kemudian tersenyum.
MUSTHOFA BISRI