Hal itu menyusul terjadinya perang mulut antara politisi Ruhut Sitompul dengan Gayus Lumbuun, serta aktivitas komunikasi politik legislatif yang akhir ini kian kasar. "Memang kata kasar tak boleh masuk parlemen. Tapi etika berkomunikasi kita masih tergolong wajar," kata Effendi kepada Tempo, Kamis (7/1).
Kata kasar, lanjutnya, memang kerap keluar tanpa disadari, terutama saat emosi tak terkontrol serta karena ekspresi berlebihan. Tapi jika perkataan kasar tersebut mulai sering keluar dari mulut seseorang, maka masalahnya ada pada orang tersebut.
"Sehingga perlu pembenahan proses rekrutmen di legislatif. Jangan sampai pencitraan jadi produk utama, mengalahkan program sang calon, misalnya memilih si X karena dia ganteng atau terkenal, peduli programnya jelas atau tidak," ungkapnya. Di luar Amerika Serikat, lanjutnya, ada kata kasar populer yakni 'what a f**k' yang sering terlontar tanpa disadari.
Meski begitu, kata-kata itu tidak sampai masuk parlemen Amerika. Di Indonesia, berdasarkan etika berkomunikasi politik, sikap kasar yang wajar memang ada porsinya. "Memang harus ada politisi yang kasar hingga yang lembut, namun tetap pada kisaran yang wajar. Itu adalah tujuan diskusi politik, supaya diskusi berjalan dinamis dan solutif," kata Effendi.
Komunikasi yang 'seragam' pernah terjadi di era orde baru. Mengadopsi lirik lagu Iwan Fals bahwa "wakil rakyat bukan paduan suara" menurut Effendi. hal itu tidak boleh sampai terjadi di era saat ini. "Strategi komunikasi politik harus dinamis. Ada yang kritis, ada yang konservatif dan lainnya, jangan sampai terjadi paduan suara," katanya.
Sementara mengenai adu fisik di parlemen, Effendi berpendapat, Indonesia masih lebih baik ketimbang Amerika Latin, Persia hingga Thailand dan Filipina.
"Disana sering terjadi adu fisik, sementara di Indonesia pernah terjadi sekali. Tapi di luar negeri adu fisik tak disertai kata-kata kotor."
ANGIOLA HARRY